Sabtu, 12 April 2014

Politik Hukum Nasional Indonesia



Nama               : Neni Ajeng Arnita
Nim                 : 201310110311081
Kelas               : B
Tugas               : 5


Politik Hukum Nasional Indonesia

A.  SENDI SENDI HUKUM NASIONAL
Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-sistem hukum,yaitu:
1.  Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
2.  Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Soerojo Wigdjodipuro, 1995 : 13).
3.  Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, Islam telah diterima oleh Bangsa Indonesia.
Adanya pengakuan hukum Islam seperti Regeling Reglement, mulai tahun 1855, membuktikan bahwa keberadaan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum Indonesia nerdasarkan teori “Receptie” (H. Muchsin, 2004)
Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang didasari oleh pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di Indonesia”.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang ada hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada Mahkamah Agung.
Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas”.Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang KekuasaanKehakiman.[1]
Dalam Pasal 15 UU Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai Pengadilan Khusus sebagai berikut:
1.  Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang.
2.  Pengadilan Syariah Islam di Provinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan paradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum.[2]

B.  SISTEM PERADILAN DI INDONESIA DAN PENEGAKNYA
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak-­pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang dilanggar, antara lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini tidak disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.


            Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi yang berlainan. [3]

           
Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang­-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan kembali.[4]

C.  KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL MENYANGKUT MATERI HUKUM, APARATUR HUKUM, SARANA DAN PRASARANA
SEKILAS SEJARAH BPHN
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) adalah instansi Pemerintah yang bertugas melakukan pembinaan sistem hukum nasional secara terpadu dan komprehensif sejak dari perencanaan sampai dengan analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan.Hasil dari program dan kegiatan BPHN diarahkan untuk mewujudkan tujuan pembangunan hukum nasional yang meliputi pembangunan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. No. M.03-PR.07.10 Tahun 2005 BPHN mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan hukum nasional dan memiliki fungsi:
  1. Penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan sistem hukum nasional, perencanaan pembangunan hukum nasional, dokumentasi dan informasi hukum nasional serta penyuluhan hukum.
  2. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang pembinaan hukum nasional.
  3. Koordinasi dan kerja sama di bidang penelitian dan pengembangan sistem hukum nasional, perencanaan pembangunan hukum nasional, dokumentasi dan informasi hukum nasional serta penyuluhan hukum.
  4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi.
  5. Pelaksanaan urusan administrasi di lingkungan Badan.
Pembangunan hukum nasional mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009. Sasaran politik hukum yang ingin diwujudkan dalam tahun 2004-2009 yaitu terciptanya sistem hukum nasional yang adil konsekuen, tidak diskriminatif, dijaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi, dan terwujudnya kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional sebagai upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan sasaran pembangunan hukum dalam RPJM 2004-2009, BPHN menetapkan kebijakan dan strategi mencakup langkah-langkah[5]:
  • Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan merencanakan penciptaan, pembaharuan, dan   pelaksanaan peraturan perundang-undangan nasional yang belum ada maupun yang telah tidak sesuai lagi dengan   perkembangan.
  • Meningkatkan koordinasi instansi terkait dan masyarakat dalam perencanaan hukum dan harmonisasi hukum serta   senantiasa mengantisipasi perkembangan masyarakat dan iptek jauh ke depan.
  • Meningkatkan penyebarluasan hasil-hasil analisa evaluasi peraturan perundang-undangan, pengkajian hukum, penelitian hukum, naskah akademis, peraturan perundang-undangan, dan hasil-hasil pertemuan ilmiah, agar dapat dimanfaatkan dalam rangka perencanaan hukum, pembentukan hukum dan kepentingan lainnya.
  • Ø Memantapkan metode penyuluhan hukum dalam rangka pengembangan dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
  • Ø Meningkatkan sarana dan prasarana hukum.
  • Ø Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia baik tenaga perencana hukum, peneliti hukum, pustakawan hukum, pranata komputer, penyuluh hukum, dan sebagainya.
Misi terpenting BPHN adalah mewujudkan sistem hukum nasional yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.Misi tersebut mengandung arti bahwa perwujudan supremasi hukum melalui pembinaan dan pengembangan materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, serta budaya hukum harus senantiasa menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pada tanggal 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dibentuk sebagai pelaksanaan Undang-undang Advokat.[6]




Daftar Pustaka

Mertokusumo, Sudikno. Sistem Peradilan di Indonesia,http://sudiknoartikel.blogspot.com
Zoel. Politik Hukum Nasional Indonesia,  http://vjkeybot.wordpress.com





[1]Zoel, Politik Hukum Nasional Indonesia,  http://vjkeybot.wordpress.com/ 2011/12/03/politik-hukum-nasional-indonesia/ diakses pada 6 Oktober 2013
[2]Ibid
[3]Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia,http://sudiknoartikel.blogspot.com /2008/03/sistem-peradilan-di-indonesia.html diakses pada 6 Oktober 2013
[4]Ibid
[5] Opcit
[6]Opcit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar