Nama : Neni Ajeng Arnita
Nim : 201310110311081
Kelas : B
HUKUM
ACARA PIDANA
1. Pengertian
Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana adalah salah satu bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara sebagai dasar dan aturan yang
menentukan dengan cara apa dan prosedur seperti apa sehingga ancaman pidana
pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan ketika seseorang telah
disangkakan melakukan perbuatan pidana. Pengertian hukum acara pidana tersebut
merupakan pengertian hukum acara pidana yang diberikan oleh Prof Mulyatno.
Berdasarkan pengertian hukum acara pidana tersebut,
maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana keseluruhan
ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur
penyelesaian suatu perkara pidana, yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan
hingga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan
pidana terhadap suatu kasus pidana.[1]
2. Asas
Hukum Acara Pidana[2]
a)
Asas Inquisitoir. Asas Inquisitoir adalah asas yang
menjelaskan bahwa setiap pemeriksan yang dilakukan harus dengan cara rahasia
dan tertutup. Asas ini menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan tanpa
memperoleh hak sama sekali. seperti bantuan hukum dan ketemu dengan
keluarganya. Asas ini diatur dalam Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
b)
Asas Accusatoir. Asas accusatoir menunjukkan bahwa
seorang tersangka/tersangka yang diperiksa bukan menjadi obyek tetapi sebagai
subyek. Asas ini memperlihatkan pemeriksaan dilakukan secara terbuka untuk
umum. Dimana setiap orang dapat menghadirinya.
c)
Asas Opportunitas. Asas oportunitas adalah memberi
wewenang pada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seorang pelaku
dengan alasan kepentingan umum. Asas inilah yang dianut Indonesia contohnya,
seseorang yang memiliki keahlian khusus dan hanya dia satu-satunya di negara
itu maka dengan alasan ini JPU boleh memilih untuk tidak menuntut. Asas ini
diatur dalam Pasal 32 C UU Nomer 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
d)
Asas Jaksa Sebagai Penuntut Umum dan Polisi Sebagai
Penyidik. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1 Angka 6 Huruf b
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Penuntut umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim. Penyelidik menurut Pasal 1 Angka 4 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Penyelidik adalah pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan
penyelidikan.
e)
Asas Personalitas Aktif. Asas Personalitas merupakan
asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya,
hukum pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan
demikian, hukum pidana Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia
ke mana pun ia berada, asas ini diatur dalam Pasal 5-7 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
f)
Asas Persamaan. Asas Equality Before The Law, artinya
setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum tanpa membedakan suku,
agama, pangkat , jabatan dan sebagainya. Asas ini diatur dalam Pasal 5 Ayat (1)
UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 5 Ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman) : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.
g)
Asas Perintah Tertulis dari yang Berwenang. Artinya
bahwa setiap penangkapan, penggeledahan, penahanan dan penyitaan harus
dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh
UU dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh UU.
h)
Asas Praduga Tak Bersalah. Presumption of innocense
artinya seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum dinyatakan bersalah
oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asas ini
diatur dalam Pasal 8 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 8
UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman) : Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
i)
Cepat, Singkat, Biaya Ringan, Jujur, Bebas, Tidak
Memihak. Asas contente justitie serta fairtrial. Asas ini menghendaki proses
pemeriksaan tidak berbelit-belit dan untuk melindungi hak tersangka guna
mendapat pemeriksaan dengan cepat agar segera didapat kepastian hukum. Asas ini
diatur dalam Pasal 24 dan 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
j)
Sidang Terbuka Untuk Umum. Sidang pemeriksaan perkara
pidana harus terbuka untuk umum, kecuali diatur oleh UU dalam perkara tertentu
seperti perkara kesusilaan, sidang tertutup untuk umum tetapi pembacaan putusan
pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Asas ini diatur
dalam Pasal 64 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 64 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Terdakwa berhak untuk diadili di
sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
k)
Asas Adanya Bantuan Hukum. Seseorang yang tersangkut
perkara pidana wajib diberi kesempatan untuk memperoleh Bantuan Hukum secara
cuma-cuma untuk kepentingan pembelaan dirinya. Asas ini diatur dalam Pasal 54
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam
waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini (Pasal 37 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman) : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.[3]
l)
Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi. Hak bagi tersangka/terdakwa/terpidana
untuk mendapatkan ganti rugi/rehabilitasi atas tindakan terhadap dirinya sejak
dalam proses penyidikan. Asas ini diatur dalam Pasal 95 dan 97 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
m)
Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya
langsung kepada terdakwa dan para saksi. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat
(2) huruf a Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 155 ayat (1)
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 153 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim ketua siding memimpin
pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa
indonesia yang dimengerti terdakwa dan saksi. Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) : pada permulaan sidang hakim ketua sidang
menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta
mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan
dilihatnya di sidang.
n)
Hadirnya Tersangka Dalam Pengadilan. Pangadilan dalam
memeriksa perkara pidana harus dengan hadirnya terdakwa.
o)
Pemberitahuan Apa yang Didakwakan. Bahwa setiap
pemeriksaan di Hapid para pihak (tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan
dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.
p)
Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan
Tetap. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan
oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat
hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam pasal 31 UU
Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) : hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman) : Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
q)
Asas Legalitas. Dalam hukum pidana yang mengatakan
bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuaan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla
Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) : Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada 2. Bilamana ada
perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap
terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
3. Sumber
Hukum Acara Pidana[4]
A.
UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman
itu diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat
untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”,
dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu harus diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya
para hakim”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga
negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan
belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
- Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai (herziening).
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.
- Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.[5]
- Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.
- Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
· Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang
Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan Terhadap
Mereka Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
· Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi;
· Intruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan
Kepolisian terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
· Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
· Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
· Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
1983 Tentang Tunjangan Jaksa
4. Fungsi
hukum acara pidana
a. Mencari
dan menemukan kebenaran
b. Pemberian
keputusan oleh hakim
c. Pelaksanaan
putusan
Yang
sangat penting dalam mencari kebenaran adalah yang ditemukan dari alat bukti
untuk dijadikan dasar putusan yang akan dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum
(JPU).[6]
5. Tujuan
hukum acara pidana
Tujuan dari hukum acara
pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran meteriil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Tujuan dari hukum acara pidana adalah
untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
meteriil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.[7]
Mencari kebenaran materiil merupakan tujuan hukum acara pidana, tetapi
usaha hakim dalam menemukan kebenaraan materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan
jaksa. Hakim tidak dapat menuntut supaya jaksa mendakwakan dengan dakwaan lain
atau menambah perbuatan yang didakwakan.
Dalam batas surat dakwaan, hakim harus benar-benar tidak boleh puas dengan
kebenaran formal, untuk memperkuat keyakinaannya hakim dapat meminta
bukti-bukti dari kedua pihak, yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitupula
saksi-saksi yang diajukan kedua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Arfen, Tujuan dari Hukum Acara Pidana,http://arfen-media.blogspot.com
Didik, Pengertian Hukum Acara Pidana,http://didiklaw.blogspot.com
Iwan Teratai,
Tiga Fungsi Hukum Acara Pidana, http://iwanteratai.blogspot.com
Syamsul,
Sumber Hukum Acara Pidana,http://syamsul89.blogspot.com
[2]Elanda
Harviyata, Asas-asas Hukum Acara Pidana,http://elandaharviata.wordpress.com, access
01 Desember 2013
[3]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Iwan
Teratai, Tiga Fungsi Hukum Acara Pidana,
http://iwanteratai.blogspot.com, access
01 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar