Nama :
NeniAjengArnita
Nim :
201310110311081
Kelas : B
Tugas : 13
HUKUM
ADAT
Hukum adat
adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia
dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok.Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan
dengan kesadaran hukum masyarakatnya.Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan
diri dan elastis.Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok
orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[1]
Kedudukan
dan Peranan Hukum Adat[2]
1. Hukum
adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi
Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan
perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum
kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
2. Pengambilan
bahan-bahan dari hukum adatadalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya
berarti:
- Penggunaan
konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam
norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang
dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila
dan Undang-Undang Dasar.
- Penggunaan
lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan
zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
- Memasukkan
konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari
hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum
Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
3. Di
dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan salah satu
unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan
nasional merupakan intinya.
4. Dengan
terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka
kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.
Hukum Adat dalam Perundang-Undangan
1. Hukum
Adat, melalui perundang-undangan, putusan hakim, dan ilmu hukum hendaknya
dibina ke arah Hukum Nasional secara hati-hati.
2. Hukum Perdata Nasional hendaknya
merupakan hukum kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia dan diatur dalam
Undang-Undang yang bersifat luwes yang bersumber pada azas-azas dan Jiwa hukum
adat.
3. Kodifikasi dan Unifikasi hukum
dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, hendaknya dibatasi pada
bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat
nasional. Bidang-bidang hukum yang diatur oleh hukum adat atau hukum kebiasaan
lain yang masih bercorak lokal ataupun regional, sepanjang tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak menghambat
pembangunan masih diakui berlakunya untuk kemudian dibina ke arah unifikasi
hukum demi persatuan bangsa.
4. Menyarankan untuk segera mengadakan
kegiatan-kegiatan unifikasi hukum harta kekayaan adat yang tidak erat
hubungannya dengan kehidupan spirituil dan hukum harta kekayaan barat, dalam
perundang-undangan sehingga terbentuknya hukum harta kekayaan nasional.
5. Menyarankan agar dalam
mengikhtiarkan pengarahan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan kepada
unifikasi hukum nasional dilakukan melalui lembaga peradilan.
6. Hendaklah dibuat Undang-undang yang
mengandung azas-azas pokok hukum perundang-undangan yang dapat mengatur politik
hukum, termasuk kedudukan hukum adat.
Hukum
Adat dalam Putusan Hakim[3]
1. Hendaklah hukum adat kekeluargaan
dan kewarisan lebih diperkembangkan ke arah hukum yang bersifat
bilateral/parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan
wanita.
2. Dalam rangka pembinaan Hukum
Perdata Nasional hendaknya diadakan publikasi jurisprudensi yang teratur dan
tersebar luas.
3. Dalam hal terdapat pertentangan
antara undang-undang dengan hukum adat hendaknya hakim memutus berdasarkan
undang-undang dengan bijaksana.
4. Demi terbinanya Hukum Perdata
Nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim
yang berorientasi pada pembinaan hukum.
5. Perdamaian dan kedamaian adalah
tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa Hukum hendaklah diusahakan
didamaikan.
Adapun
sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau
prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
1.
Harta warisan dalam sistem Hukum
Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan
kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat
dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai
dengan uang.
2.
Dalam Hukum Waris Adat tidak
mengenal asas legitiemeportieatau bagian mutlak, sebagaimana diatur
dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
3.
Hukum Waris Adat tidak mengenal
adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan
segera dibagikan.
Berdasarkan
ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena
asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan.
Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian
diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan
mufakat, serta keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas
tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar
negara RI, yaitu Pancasila.
Di samping
itu, menurut Muh.Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok,
yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan.Ketiga asas ini dapat
diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam
masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala
(waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan dan mengolah asas
kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan
keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.
Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat
dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
1.
Sistem Kolektif, Menurut sistem ini
ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan
yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan
atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon
dan Minahasa.
2.
Sistem Mayorat, Menurut sistem ini
harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak
penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki
tertua (Bali, Lampung, Teluk YosSudarso) atau perempuan tertua (Semendo/
Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau
anak laki-laki saja.
3.
Sistem Individual, Berdasarkan
prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta
warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di
masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.[4]
Contoh Kasus Hukum Adat
SALAH satu
cerminan politik hukum dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), adalah adanya unifikasi hukum dalam
bidang hukum agraria atau pertanahan di Indonesia, walaupun unifikasi tersebut
bersifat unik, karena masih memberikan kemungkinan berlakunya hukum adat dan
agama.
Tetapi, adanya UUPA merupakan tonggak
yang sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di
Indonesia.Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu
melalui Konsiderans/Berpendapat dinyatakan, “perlu adanya hukum agraria
nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”.Dalam Pasal 5 UUPA
ditemukan adanya pernyataan, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat”.Makna pernyataan istilah berdasarkan atas dan
ialah hukum adat tersebut, menunjukkan adanya hubungan fungsional antara Hukum
Adat dan UUPA.Oleh karena itu dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional (HTN),
Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dan sebagai hukum yang melengkapi. Di
pihak lain UUPA dilihat dari kandungan nilai sosialnya dapat
dikategorikan sebagai hukum prismatik,
karena berhasil menjadikan nilai sosial tradisional dan
modern secara bersamaan sebagai dasar menetapkan
prinsip-prinsipnya.
Hubungan fungsional antara UUPA dan
hukum adat tampaknya relevan dengan kondisi negara Indonesia yang bercorak
multikultural, multietnik, agama, ras, dan multigolongan.Juga, relevan dengan
sesantiBineka Tunggal Ika yang secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya
bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Jadi warna
pluralisme hukum tampaknya masih mendapat tempat, yaitu dengan mencermati
adanya dua/lebih sistem hukum yang saling berinteraksi.Hubungan fungsional ini
juga merefleksikan adanya cita (tujuan) hukum yang tidak hanya secara
konvensional ditujukan untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial
(social order) dalam masyarakat yang fungsinya hanya menekankan sebagai
instrumen pengawasan sosial (social control). Dalam masyarakat yang lebih
kompleks cita hukum kemudian dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa
kehidupan sosial (social engineering) untuk mewujudkan nilai kepastian
hukum.Namun, cita hukum hendaknya dapat ditingkatkan agar dapat memainkan peran
sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam
masyarakat yang bercorak multikultural.Secara filosofis pembentukan UUPA
ditujukan untuk mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945), bahwa “bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”Pernyataan ini
mengandung arti bahwa menjadi kewajiban agar bumi, air, dan ruang angkasa dan
kekayaan alam yang diletakkan dalam kekuasaan negara untuk mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan yang
dimaksudkan, kesejahteraan lahir batin, adil dan merata bagi
seluruh rakyat Indonesia.[5]
Dengan mengacu pada pemikiran
tersebut, selayaknya dalam mengimplementasikan UUPA tidak mesti ditemukan
adanya kompetisi dengan hukum adat masyarakat setempat, karena antara UUPA dan
hukum adat akan berfungsi saling melengkapi (interkomplementer) dan saling
menguntungkan (simbiosis mutualisme) dalam upaya mengisi kekosongan hukum yang
ada, jadi tampak adanya sinergi antara sistem hukum nasional dan sistem hukum
adat. Selayaknya hal itu juga dapat memberi rasa keadilan akan eksistensi
terhadap hak ulayat sebagai hak adat masyarakat hukum adat setempat.
Dalam kenyataannya beberapa kasus
sengketa tanah (ulayat) yang ada dan terus terjadi di Bali sampai saat ini
justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA sebagai hukum negara (state
law) di satu sisi dan hukum adat sebagai hukum rakyat (folks law) di sisi lain,
yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan perlindungan hak ulayat
sebagai hak adat dalam arti hak untuk hidup di dalam memanfaatkan sumber daya
yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam
lembaga adat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat
atau persekutuan hukum adat tertentu, khususnya mengenai penguasaan dan
pemilikan hak atas tanah ulayat oleh persekutuan hukum yang disebut desa
adat.Contoh kasus tanah ulayat, kasus LoloanYehPoh di Banjar Tegal Gundul Desa
Adat Canggu yang tampak terjadi conflict of interest antara investor sebagai
pemegang sertifikat HGB menurut hukum negara (UUPA) dan masyarakat hukum adat
sebagai pemegang hak ulayat menurut hukum adat. Tetapi, sampai sekarang belum
tampak ada benang merahnya walaupun usaha penarikan ke arah itu sudah ada.
Semua itu sangat tergantung pada komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak
terutama dari pemerintah daerah dalam memaknai konseptual “pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya” yang secara
normatif telah mendapat pengakuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
seperti Tap MPR No. IX/MPR/2001, Pasal 18 B (2) UUD 1945, Pasal 2 (9) UU N0.
32/2004, UUPA No.5/1960, UU No. 5/1994, Permendagri No. 3/1997, Permenneg
Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Keppres RI No. 34/2003, Perda Provinsi
Bali No. 3/2001 Jo No.3/2003, keputusan Bupati Ba¬dung No. 637 Tahun 2003
berkaitan kawasan limitasi, awig-awig desa adat. Namun, semua pernyataan
pengakuan tersebut belum diikuti upaya perlindungan hukum dengan
sungguh-sungguh secara empiris, sehingga proses pengukuran ulang HGB di atas
loloan belum dapat menyelesaikan kompetisi sistem hukum yang ada, karena tidak
menyentuh materi kasusnya, yaitu kawasan suci bagi umat Hindu khususnya yang
secara tradisi (turun temurun) telah memanfaatkan tempat tersebut untuk
melakukan kegiatan keagamaan. Oleh karena itu bagaimana selayaknya pemerintah
daerah mencermatinya sesuai dengan misi yang diembannya menurut peraturan
perundang-undangan tersebut?
Pertama, penyelesaian masalah harus
menyentuh materi kasusnya, dan netralitas sangat dipertaruhkan untuk menghindari
adanya kesan yang bersifat memihak (pengelonan menurut Sudargo Gautama)
berkaitan dengan adanya conflict of interest, dan sebaliknya mampu
merefleksikan nilai kepastian hukum di satu sisi dengan melakukan
inventarisasi dan analisis terhadap norma hukum tertulis, dan di sisi lain
dapat menjamin rasa keadilan dengan melakukan inventarisasi dan memahami norma
hukum tidak tertulis masyarakat hukum adat. Akhirnya berani mengambil keputusan
secara objektif, tepat dan cerdas dari hasil kajian yang dilakukan, sehingga
semua kepentingan dapat diayomi.Oleh Rawls disebut keadilan sebagai fairness.[6]
Kedua, pemerintah daerah sekarang
harus menjadikan masalah pertanahan dan kekayaan alam sebagai salah satu isu
strategis yang diprioritaskan penataannya, yaitu hendaknya membuka peluang bagi
upaya penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat atas tanah
dan kekayaan alam yang selama ini terabaikan, sehingga nantinya adanya sinergi
norma dan kepentingan, dan akhirnya fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasi
dapat diwujudkan. dalam upaya menciptakan interaksi yang bersifat saling
menguntungkan lebih-lebih Bali tetap diminati sebagai tempat berinvestasi,
sebagai dampak gerakan Balinisering terdahulu.
Ketiga, dalam
perspektif pluralisme hukum, yaitu dengan adanya lebih dari. Keempat,
sifat dinamis masyarakat hukum adat dan hukum adatnya kalau dimaknai
secara tepat akan mampu berintegrasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang
makin mengglobal, sehingga semua aktor yang terkait harus mampu memilah hak-hak
tradisional yang dapat direlokasi dan dimodifikasi sesuai konsep kekinian, dan
yang mana samasekali tidak boleh dimodifikasi dan harus dilestarikan sesuai
konsep ajeg Bali. Sehingga, dalam upaya memberi perlindungan hukum pada hak-hak
tradisional terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat tidak menafikan
kepentingan pihak lain, seperti investor, sehingga perlindungan hukum secara
preventif perlu mendapat pengutamaan, karena sejak awal dalam pembuatan bentuk
keputusan, masyarakat hukum adat akan selalu dilibatkan. Juga, diperlukan
komitmen untuk melindungi nilai kesucian yang melekat pada hak ulayat yang
justru berpotensi dieksploitasi untuk mendatangkan keuntungan ekonomis semua
pihak.
Bentuk-Bentuk
Perkawinan Adat[7]
Menurut cara terjadinya atau
persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi:
·
Perkawinan Pinang
Yaitu
bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan
carameminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita
untuk menjalin perkawinan.
·
Perkawinan Lari Bersama
Yaitu
perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua
belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat
perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.
·
Kawin Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana
seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.
1) Bentuk perkawinan pada masyarakat
Patrilineal dibedakan menjadi :
·
Perkawinan Jujur
Suatu
bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki
kepada pihak perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri
dengan orang tua, kerabat, dan persekutuannya. Perkawinan yang dilakukan dengan
pembayaran “jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang
atau barang jujur, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan
kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat suami. Wanita tersebut mengikatkan
diri pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik pribadi maupun harta benda
yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain.
Setelah isteri ada di tangan suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya
harus berdasarkan persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan
kerabat suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri oleh karena ia adalah
pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan
kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.[8]
·
Perkawinan Mengabdi
Yaitu
perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat-
syarat dari pihak wanita.
Mak perkawinan dilaksanakan dengan
pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda.Dengan perkawinan mengabdi maka
pihak pria tidak usah melunasi uang jujur.Pria mengabdi pada kerabat mertuanya
sampai utangnya lunas.
·
Perkawinan Mengganti/ Levirat
Yaitu
perkawinan antara seorang janda engan saudara laki-laki almarhum
suaminya.Bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat adanya anggapan bahwa
seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan telah membayar uang jujur.
Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”, di Palembang dan
Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa dikenal dengan “medun
ranjang”.
·
Perkawinan Meneruskan/ Sorotan
Yaitu
bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan saudara perempuan almarhum
istrinya.Perkawinan ini tanpa pembayaran yang jujur yang baru, karena istri
kedua dianggap meneruskan fungsi dari istri pertama.
Tujuan perkawinan ini :
Terjalinnya keutuhan keluarga
(hubungan kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan
yang lalu tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta
perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarangwulu”
·
Perkawinan Bertukar
Bentuk
perkawinan dimana memperbolehkan sistem perkawinan timbal balik
(symetrisconnubium).
Sehingga pembayaran jujur yang
terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran
jujuarbertimbal balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya
menjadi hapus.
Dalam masyarakat Patrilineal dikenal
perkawinan yang dilakukan “tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
·
Perkawinan Ambil Anak
Yaitu
perkawinan yang dilakukan tanpa pembayaran jujur, yaitu dengan menganggkat si
suami sebagai anak laki-laki mereka, sehingga si istri tetap menjadi anggota
clan semula. Si suami telah menjadi anak laki-laki dari ayah si istri, sehingga
anak-anak yang lahir kelak akan menarik garis keturunan ayahnya.
Alasan dilakukannya perkawinan Ambil
Anak karena dalam masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki,
sehingga hubungan patrilinealnya akan punah.
Maka menantu laki-laki diangkat
sebagai anak, sebagai cucu-cucunya dapat meneruskan garis kekeluargaannya yang
dapat patrilineal.[9]
Perkawinan ambil anak dapat berbentuk :
·
Perkawinan ambil anak :
Yaitu
perkawinan antara seorang pemuda dari luar persekutuan , dengan anak gadis
seorang pejabat si pemuda diadopsi menjadi anak angkat, agar menantu laki-laki
yang telah diadopsi dapat meneruskan kebesaran dan menerima warisan
Contoh :
Perkawinan SemedoTambil Anak ( di
daerah Lampung ).
Dimana seorang pejabat kebesaran
adat hanya mempunyai anak perempuan dari bini baru (istri tuanya) , maka untuk
mempertahankan kebesarannya dalam kerabatnya yang patrilineal, dilakukan
perkawinan ambil anak.
·
Perkawinan Tegak-Tegik
Yaitu
perkawinan antara anak perempuan dari clan yang bersistem patrilineal dengan
kemenakan laki-laki yang dijadikan anak angkat, agar menantu laki-laki yang
dijadikan anak angkat laki-laki itu, dapat menerima warisan yang kelak
diteruskan kepada cucunya.
·
Perkawinan JengMirul
Yaitu perkawinan yang menyebabkan
suami beralih menjadi anggota kerabat istri karena suami dijadikan anak
angkat.Sehingga suami menjadi wakil mutlak bagi anak-anak nya untuk mengawasi
harta peninggalan.
·
Perkawinan meminjam Jago
Yaitu perkawinan dimana suami tidak
beralih kedalam clan si istri.Suami hanya ditoleransikan sebagai penyambung
keturunan. Suami berkedudukan sebagai orang menumpang, Anak anaknya masuk clan
ibu nya
2) Bentuk perkawinan pada masyarakat
Matrilineal
Yaitu
sistem perkawinan di mana diatur menurut tat tertib garis ibu, sehingga setelah
dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannnya yang
matrilineal.Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si suami tetap tinggal
dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan kerabat istri sebagai
“urung sumando” atau ipar.
Anak-anak yang akan dilahirkan
termasukdalam clan ibunya yang matrilineal.
·
Perkawinansemanda
Perkawinan
semanda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada
pihak wanita.Setelah perkawinan si pria harus menetap di pihak kekerabatan
isteri atau bertanggungjawab meneruskan keturunan wanita di pihak
isteri.Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus
memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita.
Perkawinan semanda dalam arti
sebenarnya ialah perkawinan di mana suami setelah perkawinan menetap dan
berkedudukan dipihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak
kerabatnya sendiri.Di Minangkabau pihak wanita yang meminang pria harus
memberikan uang atau barang “panjapui” yang jumlahnya menurut tingkat kedudukan
dari si pria.Kadang jumlahnya cukup tinggi dikarenakan kedudukan pria lebih
tinggi dari wanita.
3) Bentuk perkawinan pada masyarakat
Parental
Yaitu bentuk perkawinan yang
mengakiatkan bahwa pihak suami maupun pihak istri, masing- masing menjadi
anggota kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak- anaknya yang lahir
kelak dan seterusnya
Sistem Perkawinan
1. Sistem endogami
Orang
hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari suku keluarganya sendiri, seperti
di Toraja, namun lambat laun akan hilang karena hubungan daerah satu dengan
daerah lain kini makin mudah, selain itu di Toraja susunan keluarganya adalah
parental.
2. Sistem exogami
Orang
diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya, seperti di Gayo, Alas,
Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan.
3. Sistem eleutherogami.
Sistem
ini tidak mengenal larangan seperti endogami dan exogami. Larangan yang
terdapat dalam sistem ini adalah bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu
karena:
1.
Nasab
(turunan yang dekat) = seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu,
juga dengan saudara kandung, saudaranya bapak atau saudaranya ibu.
2.
Musyaharah
(per-iparan) = seperti kawin dengan ibu tiri, menantu,mertua, atau anak tiri.[10]
DAFTAR PUSTAKA
IhsanParakkasi, Bentuk-Bentuk Pekawinan Adat, http://iccank-parakkasi.
blogspot. com
IrnaRahmawati,Sistem Hukum Waris Adat, http://irnarahmawati.wordpress.com
Sano TM, Contoh Kasus Hukum Adat, http://sanothesarmalino.blogspot.com
SyailendraWisnu, Kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Nasional,http://wisnu.blog.uns.ac.id
[2]SyailendraWisnu, Kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Nasional, http://wisnu.blog.uns.ac.iddiakses pada 18 November 2013
[3] Ibid.
[4]IrnaRahmawati,Sistem Hukum Waris Adat, http://irnarahmawati.wordpress.comdiakses pada 18 November 2013
[5] Sano TM, Contoh
Kasus Hukum Adat, http://sanothesarmalino.blogspot.comdiakses pada 18 November 2013
[6] Ibid.
[7]IhsanParakkasi, Bentuk-Bentuk Pekawinan Adat, http://iccank-parakkasi.blogspot.comdiakses pada 18 November 2013
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
"Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
BalasHapusTIPS DAN TRICK UNTUK PENGGUNA SMARTPHONE”