Sabtu, 12 April 2014

HUKUM ADAT



Nama     : NeniAjengArnita
Nim       : 201310110311081
Kelas     : B
Tugas     : 13

HUKUM ADAT

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok.Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.[1]

Kedudukan dan Peranan Hukum Adat[2]
1.  Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
2.  Pengambilan bahan-bahan dari hukum adatadalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti:
-    Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar.
-    Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
-    Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3.  Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan nasional merupakan intinya.
4.  Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.

 Hukum Adat dalam Perundang-Undangan
1.  Hukum Adat, melalui perundang-undangan, putusan hakim, dan ilmu hukum hendaknya dibina ke arah Hukum Nasional secara hati-hati.
2. Hukum Perdata Nasional hendaknya merupakan hukum kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang yang bersifat luwes yang bersumber pada azas-azas dan Jiwa hukum adat.
3. Kodifikasi dan Unifikasi hukum dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, hendaknya dibatasi pada bidang-bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat nasional. Bidang-bidang hukum yang diatur oleh hukum adat atau hukum kebiasaan lain yang masih bercorak lokal ataupun regional, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak menghambat pembangunan masih diakui berlakunya untuk kemudian dibina ke arah unifikasi hukum demi persatuan bangsa.
4. Menyarankan untuk segera mengadakan kegiatan-kegiatan unifikasi hukum harta kekayaan adat yang tidak erat hubungannya dengan kehidupan spirituil dan hukum harta kekayaan barat, dalam perundang-undangan sehingga terbentuknya hukum harta kekayaan nasional.
5. Menyarankan agar dalam mengikhtiarkan pengarahan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan kepada unifikasi hukum nasional dilakukan melalui lembaga peradilan.
6. Hendaklah dibuat Undang-undang yang mengandung azas-azas pokok hukum perundang-undangan yang dapat mengatur politik hukum, termasuk kedudukan hukum adat.

Hukum Adat dalam Putusan Hakim[3]
1. Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih diperkembangkan ke arah hukum yang bersifat bilateral/parental yang memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
2. Dalam rangka pembinaan Hukum Perdata Nasional hendaknya diadakan publikasi jurisprudensi yang teratur dan tersebar luas.
3. Dalam hal terdapat pertentangan antara undang-undang dengan hukum adat hendaknya hakim memutus berdasarkan undang-undang dengan bijaksana.
4. Demi terbinanya Hukum Perdata Nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim yang berorientasi pada pembinaan hukum.
5. Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa Hukum hendaklah diusahakan didamaikan.

Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
1.    Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
2.    Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitiemeportieatau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
3.    Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

          Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting , karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta  keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.
          Di samping itu, menurut Muh.Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan.Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).  Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.
Menurut ketentuan Hukum Adat secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris Adat terdiri dari tiga sistem, yaitu :
1. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon dan Minahasa.
2. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk YosSudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.
3. Sistem Individual, Berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan parental.[4]

Contoh Kasus Hukum Adat

SALAH satu cerminan politik hukum dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), adalah   adanya unifikasi hukum dalam bidang hukum agraria atau pertanahan di Indonesia, walaupun unifikasi tersebut bersifat unik, karena masih memberikan kemungkinan berlakunya hukum adat dan agama.
          Tetapi, adanya UUPA merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia.Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu melalui Konsiderans/Berpendapat dinyatakan, “perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”.Dalam Pasal 5 UUPA ditemukan adanya pernyataan, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”.Makna pernyataan istilah berdasarkan atas dan ialah hukum adat tersebut, menunjukkan adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat dan UUPA.Oleh karena itu dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional (HTN), Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dan sebagai hukum yang melengkapi. Di pihak lain UUPA dilihat dari kandungan nilai sosialnya dapat dikategorikan  sebagai  hukum   prismatik,  karena  berhasil   menjadikan  nilai sosial tradisional dan modern secara bersamaan sebagai  dasar   menetapkan prinsip-prinsipnya.
          Hubungan fungsional antara UUPA dan hukum adat tampaknya relevan dengan kondisi negara Indonesia yang bercorak multikultural, multietnik, agama, ras, dan multigolongan.Juga, relevan dengan sesantiBineka Tunggal Ika yang secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Jadi warna pluralisme hukum tampaknya masih mendapat tempat, yaitu dengan mencermati adanya dua/lebih sistem hukum yang saling berinteraksi.Hubungan fungsional ini juga merefleksikan adanya cita (tujuan) hukum yang tidak hanya secara konvensional  ditujukan untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial (social order) dalam masyarakat yang fungsinya hanya menekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control). Dalam masyarakat yang lebih kompleks cita hukum kemudian dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering) untuk mewujudkan nilai kepastian hukum.Namun, cita hukum hendaknya dapat ditingkatkan agar dapat memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural.Secara filosofis pembentukan UUPA ditujukan untuk mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945), bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”Pernyataan ini mengandung arti bahwa menjadi kewajiban agar bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang diletakkan dalam kekuasaan negara untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.  Kesejahteraan  yang dimaksudkan,  kesejahteraan   lahir batin, adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.[5]
          Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, selayaknya  dalam mengimplementasikan UUPA tidak mesti ditemukan adanya kompetisi dengan hukum adat masyarakat setempat, karena antara UUPA dan hukum adat akan berfungsi saling melengkapi (interkomplementer) dan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dalam upaya mengisi kekosongan hukum yang ada, jadi tampak adanya sinergi antara sistem hukum nasional dan sistem hukum adat. Selayaknya hal itu juga dapat memberi rasa keadilan akan eksistensi terhadap hak ulayat sebagai hak adat masyarakat hukum adat setempat.
          Dalam kenyataannya beberapa kasus sengketa tanah (ulayat) yang ada dan terus terjadi di Bali sampai saat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA sebagai hukum negara (state law) di satu sisi dan hukum adat sebagai hukum rakyat (folks law) di sisi lain, yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan perlindungan hak ulayat sebagai hak adat dalam arti hak untuk hidup di dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam lembaga adat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu, khususnya mengenai penguasaan dan pemilikan hak atas tanah ulayat oleh persekutuan hukum yang disebut desa adat.Contoh kasus tanah ulayat, kasus LoloanYehPoh di Banjar Tegal Gundul Desa Adat Canggu yang tampak terjadi conflict of interest antara investor sebagai pemegang sertifikat HGB menurut hukum negara (UUPA) dan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak ulayat menurut hukum adat. Tetapi, sampai sekarang belum tampak ada benang merahnya walaupun usaha penarikan ke arah itu sudah ada. Semua itu sangat tergantung pada komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak terutama dari pemerintah daerah dalam memaknai konseptual “pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya” yang secara normatif telah mendapat pengakuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Tap MPR No. IX/MPR/2001, Pasal 18 B (2) UUD 1945, Pasal 2 (9) UU N0. 32/2004, UUPA No.5/1960, UU No. 5/1994, Permendagri No. 3/1997, Permenneg Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Keppres RI No. 34/2003, Perda Provinsi Bali No. 3/2001 Jo No.3/2003, keputusan Bupati Ba¬dung No. 637 Tahun 2003 berkaitan kawasan limitasi, awig-awig desa adat. Namun, semua pernyataan pengakuan tersebut belum diikuti upaya perlindungan hukum dengan sungguh-sungguh secara empiris, sehingga proses pengukuran ulang HGB di atas loloan belum dapat menyelesaikan kompetisi sistem hukum yang ada, karena tidak menyentuh materi kasusnya, yaitu kawasan suci bagi umat Hindu khususnya yang secara tradisi (turun temurun) telah memanfaatkan tempat tersebut untuk melakukan kegiatan keagamaan. Oleh karena itu bagaimana selayaknya pemerintah daerah mencermatinya sesuai dengan misi yang diembannya menurut peraturan perundang-undangan tersebut?
          Pertama, penyelesaian masalah harus menyentuh materi kasusnya, dan netralitas sangat dipertaruhkan untuk menghindari adanya kesan yang bersifat memihak (pengelonan menurut Sudargo Gautama) berkaitan dengan adanya conflict of interest, dan sebaliknya mampu merefleksikan nilai  kepastian hukum di satu sisi dengan melakukan inventarisasi dan analisis terhadap norma hukum tertulis, dan di sisi lain dapat menjamin rasa keadilan dengan melakukan inventarisasi dan memahami norma hukum tidak tertulis masyarakat hukum adat. Akhirnya berani mengambil keputusan secara objektif, tepat dan cerdas dari hasil kajian yang dilakukan, sehingga semua kepentingan dapat diayomi.Oleh Rawls disebut keadilan sebagai fairness.[6]
          Kedua, pemerintah daerah sekarang harus menjadikan masalah pertanahan dan kekayaan alam sebagai salah satu isu strategis yang diprioritaskan penataannya, yaitu hendaknya membuka peluang bagi upaya penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam yang selama ini terabaikan, sehingga nantinya adanya sinergi norma dan kepentingan, dan akhirnya fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasi  dapat diwujudkan. dalam upaya menciptakan interaksi yang bersifat saling menguntungkan lebih-lebih Bali tetap diminati sebagai tempat berinvestasi, sebagai dampak gerakan Balinisering terdahulu.
Ketiga, dalam perspektif pluralisme hukum, yaitu dengan  adanya lebih dari. Keempat, sifat dinamis masyarakat hukum adat dan hukum adatnya  kalau dimaknai secara tepat akan mampu berintegrasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang makin mengglobal, sehingga semua aktor yang terkait harus mampu memilah hak-hak tradisional yang dapat direlokasi dan dimodifikasi sesuai konsep kekinian, dan yang mana samasekali tidak boleh dimodifikasi dan harus dilestarikan sesuai konsep ajeg Bali. Sehingga, dalam upaya memberi perlindungan hukum pada hak-hak tradisional terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat  tidak menafikan kepentingan pihak lain, seperti investor, sehingga perlindungan hukum secara preventif perlu mendapat pengutamaan, karena sejak awal dalam pembuatan bentuk keputusan, masyarakat hukum adat akan selalu dilibatkan. Juga, diperlukan komitmen untuk melindungi nilai kesucian yang melekat pada hak ulayat yang justru berpotensi dieksploitasi untuk mendatangkan keuntungan ekonomis semua pihak.

Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat[7]
Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi:
·         Perkawinan Pinang
          Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan carameminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan.
·         Perkawinan Lari Bersama
          Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.
·         Kawin Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.
Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1) Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal dibedakan menjadi :
·         Perkawinan Jujur
          Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan persekutuannya. Perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat suami. Wanita tersebut mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain. Setelah isteri ada di tangan suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.[8]
·         Perkawinan Mengabdi
          Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita.
Mak perkawinan dilaksanakan dengan pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda.Dengan perkawinan mengabdi maka pihak pria tidak usah melunasi uang jujur.Pria mengabdi pada kerabat mertuanya sampai utangnya lunas.
·         Perkawinan Mengganti/ Levirat
     Yaitu perkawinan antara seorang janda engan saudara laki-laki almarhum suaminya.Bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat adanya anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan telah membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”, di Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa dikenal dengan “medun ranjang”.
·         Perkawinan Meneruskan/ Sorotan
          Yaitu bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan saudara perempuan almarhum istrinya.Perkawinan ini tanpa pembayaran yang jujur yang baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi dari istri pertama.
Tujuan perkawinan ini :
Terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarangwulu
·         Perkawinan Bertukar
          Bentuk perkawinan dimana memperbolehkan sistem perkawinan timbal balik (symetrisconnubium).
Sehingga pembayaran jujur yang terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuarbertimbal balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi hapus.
Dalam masyarakat Patrilineal dikenal perkawinan yang dilakukan “tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
·         Perkawinan Ambil Anak
          Yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa pembayaran jujur, yaitu dengan menganggkat si suami sebagai anak laki-laki mereka, sehingga si istri tetap menjadi anggota clan semula. Si suami telah menjadi anak laki-laki dari ayah si istri, sehingga anak-anak yang lahir kelak akan menarik garis keturunan ayahnya.
Alasan dilakukannya perkawinan Ambil Anak karena dalam masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga hubungan patrilinealnya akan punah.
Maka menantu laki-laki diangkat sebagai anak, sebagai cucu-cucunya dapat meneruskan garis kekeluargaannya yang dapat patrilineal.[9]

Perkawinan ambil anak dapat berbentuk :
·         Perkawinan ambil anak :
          Yaitu perkawinan antara seorang pemuda dari luar persekutuan , dengan anak gadis seorang pejabat si pemuda diadopsi menjadi anak angkat, agar menantu laki-laki yang telah diadopsi dapat meneruskan kebesaran dan menerima warisan
Contoh :
Perkawinan SemedoTambil Anak ( di daerah Lampung ).
Dimana seorang pejabat kebesaran adat hanya mempunyai anak perempuan dari bini baru (istri tuanya) , maka untuk mempertahankan kebesarannya dalam kerabatnya yang patrilineal, dilakukan perkawinan ambil anak.
·         Perkawinan Tegak-Tegik
          Yaitu perkawinan antara anak perempuan dari clan yang bersistem patrilineal dengan kemenakan laki-laki yang dijadikan anak angkat, agar menantu laki-laki yang dijadikan anak angkat laki-laki itu, dapat menerima warisan yang kelak diteruskan kepada cucunya.
·         Perkawinan JengMirul
Yaitu perkawinan yang menyebabkan suami beralih menjadi anggota kerabat istri karena suami dijadikan anak angkat.Sehingga suami menjadi wakil mutlak bagi anak-anak nya untuk mengawasi harta peninggalan.
·         Perkawinan meminjam Jago
Yaitu perkawinan dimana suami tidak beralih kedalam clan si istri.Suami hanya ditoleransikan sebagai penyambung keturunan. Suami berkedudukan sebagai orang menumpang, Anak anaknya masuk clan ibu nya 

2) Bentuk perkawinan pada masyarakat Matrilineal
     Yaitu sistem perkawinan di mana diatur menurut tat tertib garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar.
Anak-anak yang akan dilahirkan termasukdalam clan ibunya yang matrilineal.
·         Perkawinansemanda
          Perkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita.Setelah perkawinan si pria harus menetap di pihak kekerabatan isteri atau bertanggungjawab meneruskan keturunan wanita di pihak isteri.Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita.
Perkawinan semanda dalam arti sebenarnya ialah perkawinan di mana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan dipihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri.Di Minangkabau pihak wanita yang meminang pria harus memberikan uang atau barang “panjapui” yang jumlahnya menurut tingkat kedudukan dari si pria.Kadang jumlahnya cukup tinggi dikarenakan kedudukan pria lebih tinggi dari wanita.
3) Bentuk perkawinan pada masyarakat
Parental 
Yaitu bentuk perkawinan yang mengakiatkan bahwa pihak suami maupun pihak istri, masing- masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak- anaknya yang lahir kelak dan seterusnya
Sistem Perkawinan
1. Sistem endogami
     Orang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari suku keluarganya sendiri, seperti di Toraja, namun lambat laun akan hilang karena hubungan daerah satu dengan daerah lain kini makin mudah, selain itu di Toraja susunan keluarganya adalah parental.
2. Sistem exogami
          Orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya, seperti di Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan.
3. Sistem eleutherogami.
          Sistem ini tidak mengenal larangan seperti endogami dan exogami. Larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu karena:
1. Nasab (turunan yang dekat) = seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudaranya bapak atau saudaranya ibu.
2. Musyaharah (per-iparan) = seperti kawin dengan ibu tiri, menantu,mertua, atau anak tiri.[10]































DAFTAR PUSTAKA


IhsanParakkasi, Bentuk-Bentuk Pekawinan Adat, http://iccank-parakkasi. blogspot. com

IrnaRahmawati,Sistem Hukum Waris Adat, http://irnarahmawati.wordpress.com

Sano TM, Contoh Kasus Hukum Adat, http://sanothesarmalino.blogspot.com

SyailendraWisnu, Kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Nasional,http://wisnu.blog.uns.ac.id

Wikipedia, Hukum Adat, http://id.wikipedia.org


[1] Wikipedia, Hukum Adat, http://id.wikipedia.orgdiakses pada 18 November 2013
[2]SyailendraWisnu, Kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Nasional, http://wisnu.blog.uns.ac.iddiakses pada 18 November 2013
[3] Ibid.
[4]IrnaRahmawati,Sistem Hukum Waris Adat, http://irnarahmawati.wordpress.comdiakses pada 18 November 2013
[5] Sano TM, Contoh Kasus Hukum Adat, http://sanothesarmalino.blogspot.comdiakses pada 18 November 2013
[6] Ibid.
[7]IhsanParakkasi, Bentuk-Bentuk Pekawinan Adat, http://iccank-parakkasi.blogspot.comdiakses pada 18 November 2013
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.

1 komentar:

  1. "Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
    TIPS DAN TRICK UNTUK PENGGUNA SMARTPHONE

    BalasHapus