Sabtu, 12 April 2014

Sejarah Hukum di Indonesia



Nama     : Neni Ajeng Arnita
Nim        : 201310110311081
Kelas      : B
Tugas     : 2

Sejarah Hukum di Indonesia

          Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.[1]
A. Periode Kolonialisme
          Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a.  Periode VOC

     Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1)  Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2)  Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3)  Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
          Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.[2]

B. Periode liberal Belanda

          Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
          Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.[3]

c.  Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

     Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 
1.    Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum
2.    Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi
3.    Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi
4.    Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas
5.    Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. 
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 
1.    Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan
2.    Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
     Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1. Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina
2. Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.
Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
1.    Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan
2.    Unifikasi kejaksaan
3.    Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan
4.    Pembentukan lembaga pendidikan hukum
5.    Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.[4]


B. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal[5]
a.  Periode Revolusi Fisik
          Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
1)  Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan;
2)  Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b.  Periode Demokrasi Liberal
     UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

C.  Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a.  Periode Demokrasi Terpimpin
          Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
1)  Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b.  Periode Orde Baru
          Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:
1)  Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan     yang  baik          dalamhukum   Nasional[6]

D. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
          Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1)  Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2)  Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3)  Pembaruan sistem ekonomi.
          Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
          Hokum di Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum perdata, hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.
Dan berikut merupakan beberapa pengertian dari macam-macam hokum di atas
1.  Hokum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil.Dan salah satu contoh dari hokum perdata adalah masalah keluarga. Macam-macam dari hokum perdata adalah hokum benda , hokum keluarga , hokum waris dan hokum lainnya.
2.  Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah.atau Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan masyarakat
3.  Hukum pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana
4.  Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya .
5.  Hukum internasional adalah Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan luas.[7]




DAFTAR PUSTAKA


Zahmantia, Rahmi.  Sejarah Hukum di Indonesia, rahmizantiaa.blogspot.com

Rafiq, A. Sejarah Hukum Indonesia, hukum-on.blogspot.com

Meisela, Zachra.  Sejarah Hukum di Indonesia, shellapaditadharma.blogspot.com


[1]RahmiZahmantia, Sejarah Hukum di Indonesia, rahmizantiaa.blogspot.comdiakses pada 22 September 2013
[2] Ibid
[3]Ibid
[4]Ibid
[5] A. Rafiq, Sejarah Hukum Indonesia, http://hukum-on.blogspot.comdiakses pada 22 September 2013
[6] Ibid
[7]ZachraMeisela, Sejarah Hukum di Indonesia, http://shellapaditadharma.blogspot.comdiakses pada 22 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar