Nama : Neni Ajeng Arnita
Nim :
201310110311081
Kelas : B
Tugas : 2
Sejarah Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran
dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar
sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka
dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat
yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.[1]
A. Periode
Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam
tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga
penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada
masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan
ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan
rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan
terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum
Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi
pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas
secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan
hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam
terhadap rakyat pribumi di masa itu.[2]
B. Periode liberal Belanda
Pada
1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR
1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum
pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
Otokratisme
administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak
lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik
liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi,
karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang
berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.[3]
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan
Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal
politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1.
Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk
pendidikan lanjutan hukum
2.
Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk
kaum pribumi
3.
Penataan organisasi pemerintahan, khususnya
dari segi efisiensi
4.
Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal
profesionalitas
5.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berorientasi pada kepastian hukum.
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan
hukum di Hindia Belanda mewariskan:
1.
Dualisme/pluralisme hukum privat serta
dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan
2.
Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan;
Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang
pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan
yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari
menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa
perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1. Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan
Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina
2. Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan
perundang-undangan pidana yang berlaku.
Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan
adalah:
1.
Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan
2.
Unifikasi kejaksaan
3.
Penghapusan pembedaan polisi kota dan
pedesaan/lapangan
4.
Pembentukan lembaga pendidikan hukum
5.
Pengisian secara massif jabatan-jabatan
administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.[4]
B. Periode Revolusi Fisik Sampai
Demokrasi Liberal[5]
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat
berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang
bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan
dengan melakukan penyederhanaan;
2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan
pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan
dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi
manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak
terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat
atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka
terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang
berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan
dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara,
yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No.
1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
C. Periode Demokrasi Terpimpin
Sampai Orde Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi
Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan
adalah:
1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan
mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang
hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3)
Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara
langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4)
Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai
rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih
situasional dan kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan
dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang
perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria,
dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal
asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing,
UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:
1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah
eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis,
termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalamhukum Nasional[6]
D. Periode
Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk
eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali
amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa
pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1) Pembaruan sistem
politik dan ketetanegaraan;
2) Pembaruan sistem
hukum dan hak asasi manusia; dan
3) Pembaruan sistem
ekonomi.
Penyakit lama
orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada
masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan
perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku
semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini
ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung
meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran
HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat
untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri,
semakin gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap
terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Hokum di
Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum perdata, hukum
publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional.
Dan berikut merupakan beberapa pengertian dari macam-macam
hokum di atas
1. Hokum perdata adalah hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran
tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil.Dan salah
satu contoh dari hokum perdata adalah masalah keluarga. Macam-macam dari hokum
perdata adalah hokum benda , hokum keluarga , hokum waris dan hokum lainnya.
2. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan
antara subjek hukum dengan pemerintah.atau Hukum publik adalah hukum yang
mengatur kepentingan masyarakat
3. Hukum pidana adalah Hukum yang mengatur
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat
diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi
unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana
4. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur
bagaimana cara agar hukum (materiil) itu terwujud atau dapat
diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya .
5. Hukum internasional adalah Hukum yang mengatur
tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara lain secara
internasional, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit dan luas.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Rafiq, A. Sejarah Hukum Indonesia, hukum-on.blogspot.com
Meisela,
Zachra. Sejarah Hukum di Indonesia, shellapaditadharma.blogspot.com
[1]RahmiZahmantia, Sejarah Hukum di Indonesia, rahmizantiaa.blogspot.comdiakses pada 22 September 2013
[2] Ibid
[3]Ibid
[4]Ibid
[6] Ibid
[7]ZachraMeisela, Sejarah Hukum di Indonesia, http://shellapaditadharma.blogspot.comdiakses pada 22 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar