Nama : Neni Ajeng Arnita
Nim : 201310110311081
Kelas :
B
Tugas :
5
Politik
Hukum
Nasional Indonesia
A.
SENDI SENDI HUKUM NASIONAL
Pada dasarnya sistem hukum nasional
Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-sistem hukum,yaitu:
1. Sistem Hukum Barat, yang
merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat
individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang
berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
2. Sistem Hukum Adat, yang
bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu bangsa dan penjelmaan
jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Soerojo Wigdjodipuro, 1995 :
13).
3. Sistem Hukum Islam,
sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda datang ke
Indonesia, Islam telah diterima oleh Bangsa Indonesia.
Adanya pengakuan hukum Islam seperti
Regeling Reglement, mulai tahun 1855, membuktikan bahwa keberadaan hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum Indonesia nerdasarkan teori “Receptie” (H.
Muchsin, 2004)
Sistem Peradilan Indonesia dapat
diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang
berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh
pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang didasari
oleh pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di
Indonesia”.
Oleh karena itu dapat diketahui
bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang
ada hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan yang lain tidak berdiri
sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada Mahkamah
Agung.
Bukti adanya hubungan antara satu
lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan yang lainnya salah satu
diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas”.Hal tersebut terdapat dalam
Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sistem Peradilan Indonesia dapat
diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang KekuasaanKehakiman.[1]
Dalam Pasal 15 UU Kekuasaan
Kehakiman diatur mengenai Pengadilan Khusus sebagai berikut:
1. Pengadilan khusus hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang.
2. Pengadilan Syariah Islam di
Provinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama,
dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan paradilan umum sepanjang
kewenangannya menyangkut peradilan umum.[2]
B. SISTEM PERADILAN DI
INDONESIA DAN PENEGAKNYA
Di dalam sistem peradilan kita dewasa
ini dikenal pula asas kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU
no.14 th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa hakim
bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas dalam arti menurut hati nuraninya
tanpa dipengaruhi oleh siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan memutus
perkara berdasarkan hati nuraninya. Di samping itu ia bebas pula dari campur
tangan pihak ekstra yudisiil. Di dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang no.14 tahun
1970 ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan oleh pihak-pihak
lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuati dalam hal-hal yang tersebut
dalam UUD. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak jarang dilanggar, antara
lain dengan mengambil jalan pintas dengan menggunakan surat sakti, tilpun sakti
dan sebagainya. Sayangnya ketentuan mengenai larangan campur tangan ini tidak
disertai dengan sanksi. Inilah salah satu diantaranya yang menyebabkan
peradilan kita menjadi "kelabu". Ditambahkannya sanksi pada ketentuan
tersebut kiranya akan memulihkan citra peradilan, asal dilaksanakan dengan konsisten.
Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas.
Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi yang berlainan. [3]
Di
samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas
putusan-putusan wasit. Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus terhadap
putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung
dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan dalam tingkat ke
3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi,
melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan
dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat
yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ini
berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan
tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan
wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan
peninjauan kembali.[4]
C. KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMBANGUNAN HUKUM
NASIONAL MENYANGKUT MATERI HUKUM, APARATUR HUKUM, SARANA DAN PRASARANA
SEKILAS SEJARAH BPHN
Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) adalah instansi Pemerintah yang bertugas
melakukan pembinaan sistem hukum nasional secara terpadu dan komprehensif sejak
dari perencanaan sampai dengan analisis dan evaluasi peraturan
perundang-undangan.Hasil dari program dan kegiatan BPHN diarahkan untuk
mewujudkan tujuan pembangunan hukum nasional yang meliputi pembangunan
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Sesuai dengan Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. No. M.03-PR.07.10 Tahun 2005 BPHN mempunyai
tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan hukum nasional dan memiliki
fungsi:
- Penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan sistem hukum nasional, perencanaan pembangunan hukum nasional, dokumentasi dan informasi hukum nasional serta penyuluhan hukum.
- Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang pembinaan hukum nasional.
- Koordinasi dan kerja sama di bidang penelitian dan pengembangan sistem hukum nasional, perencanaan pembangunan hukum nasional, dokumentasi dan informasi hukum nasional serta penyuluhan hukum.
- Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi.
- Pelaksanaan urusan administrasi di lingkungan Badan.
Pembangunan hukum nasional mengacu
pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009. Sasaran
politik hukum yang ingin diwujudkan dalam tahun 2004-2009 yaitu terciptanya
sistem hukum nasional yang adil konsekuen, tidak diskriminatif, dijaminnya
konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah
serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih
tinggi, dan terwujudnya kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa,
bersih, profesional sebagai upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum
masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan sasaran pembangunan hukum dalam RPJM
2004-2009, BPHN menetapkan kebijakan dan strategi mencakup langkah-langkah[5]:
- Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan merencanakan penciptaan, pembaharuan, dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan nasional yang belum ada maupun yang telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan.
- Meningkatkan koordinasi instansi terkait dan masyarakat dalam perencanaan hukum dan harmonisasi hukum serta senantiasa mengantisipasi perkembangan masyarakat dan iptek jauh ke depan.
- Meningkatkan penyebarluasan hasil-hasil analisa evaluasi peraturan perundang-undangan, pengkajian hukum, penelitian hukum, naskah akademis, peraturan perundang-undangan, dan hasil-hasil pertemuan ilmiah, agar dapat dimanfaatkan dalam rangka perencanaan hukum, pembentukan hukum dan kepentingan lainnya.
- Ø Memantapkan metode penyuluhan hukum dalam rangka pengembangan dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
- Ø Meningkatkan sarana dan prasarana hukum.
- Ø Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia baik tenaga perencana hukum, peneliti hukum, pustakawan hukum, pranata komputer, penyuluh hukum, dan sebagainya.
Misi terpenting BPHN adalah
mewujudkan sistem hukum nasional yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.Misi
tersebut mengandung arti bahwa perwujudan supremasi hukum melalui pembinaan dan
pengembangan materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, serta
budaya hukum harus senantiasa menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi
manusia.
Pada tanggal 21 Desember 2004,
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dibentuk sebagai pelaksanaan
Undang-undang Advokat.[6]
Daftar Pustaka
Mertokusumo,
Sudikno. Sistem Peradilan di Indonesia,http://sudiknoartikel.blogspot.com
Zoel. Politik
Hukum Nasional Indonesia, http://vjkeybot.wordpress.com
[1]Zoel, Politik Hukum Nasional
Indonesia, http://vjkeybot.wordpress.com/ 2011/12/03/politik-hukum-nasional-indonesia/ diakses pada 6 Oktober 2013
[2]Ibid
[3]Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia,http://sudiknoartikel.blogspot.com
/2008/03/sistem-peradilan-di-indonesia.html diakses pada 6 Oktober 2013
[4]Ibid
[5] Opcit
[6]Opcit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar