Nama : Neni Ajeng Arnita
Nim : 201310110311081
Kelas : B
Tugas : 1
SISTEM HUKUM
INDONESIA
1.
Pembahasan Sistem Hukum Indonesia
Menurut Drs. Satjipto Rahardjo, SH, sejak
hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan
procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau
keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan
substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut,
maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat
digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan hukum yang demikian itu
tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata – mata menunjukkan
bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH , progresivisme bertolak dari
pandangan kemanusiaan bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang
serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan
berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti
selama ini terjadi dinegara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat
penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila
kita berpikir jernih dan berkesinambungan tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan
dan didudukan sebagai satu – satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di
Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional maka inti dan arti penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang
terjabarkan didalam kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak
pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak
pada isi faktor – faktor tersebut.[1]
2.
Faktor Pokok Penegakkan Hukum adalah sebagai berikut:
a. Faktor
hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang – undang saja.
b. Faktor
penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c. Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan
dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga
merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian,
maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan
contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1.
Undang – undang
Undang – undang dalam arti material adalah
peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun
daerah yang sah (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya
undang – undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar
undang – undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Asas – asas
tersebut antara lain:
a)
Undang – undang tidak berlaku surut.
b)
Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih
tinggi.
c)
Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d)
Undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan
undang – undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e)
Undang – undang yang berlaku belakangan, membatalkan
undang – undang yang berlaku terdahulu.
f)
Undang – undang tidak dapat diganggu gugat.
g)
Undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).[2]
2.
Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan
dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu
sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan
mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau
membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang
mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran
atau penegak hukum. Halangan – halangan tersebut, adalah:
a)
Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam
peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
b)
Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c)
Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa
depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
d)
Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
e)
Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan
pasangan konservatisme. Halangan – halangan tersebut dapat diatasi dengan
membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut:
a.
Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan
baru.
b.
Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah
menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
c.
Peka terhadap masalah – masalah yang terjadi
disekitarnya.
d.
Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin
mengenai pendiriannya.
e.
Orientasi kemasa kini dan masa depan yang sebenarnya
merupakan suatu urutan.
f.
Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
g.
Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada
nasib.
h.
Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi
didalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
i.
Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun
kehormatan diri sendiri dan pihak lain.
j.
Berpegang teguh pada keputusan – keputusan yang
diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
3.
Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau
fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan
seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan
mungkin penegak hokum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang
aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, sebaiknya dianut jalan
pikiran sebagai berikut:
a)
Yang tidak ada, diadakan yang baru.
b)
Yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan.
c)
Yang kurang, ditambah.
d)
Yang macet, dilancarkan.
e)
Yang mundur atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan
untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari
sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum
dan bahkan engidentifikasikannya dengan
petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya
adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku
penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai
– nilai yang mendasari hokum yang berlaku, nilai – nilai yang merupakan
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa
yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam
hukum, adalah sebagai berikut:
a)
Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b)
Nilai jasmani atau kebendaan dan nilai rohani atau
keakhlakan.
c)
Nilai kelanggengan atau konservatisme dan nilai kebaharuan
atau inovatisme.[3]
Di Indonesia masih berlaku hukum
adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi
aturan hukum baik berupa undang – undang, peraturan pemerintah, perpres, hingga
perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara
substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya. Dalam
sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru
dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat. Bahwasanya
dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada
minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem
hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya
(culture) hukumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk
mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik
sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa
mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
Salah satu hal yang perlu
mendapat sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah
sistem peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia. Hal
lain yang tak kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan terjadi
didalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat
ini penuh dengan kebobrokan dan kebusukan berpengaruh sangat kuat pada merosotnya
atau bahkan hilangnya supremasi hukum di negara ini. Hal ini tentunya tidak
bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan
perubahan menuju terciptanya supremasi hukum.
Oleh karena itu untuk menuju
terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari seluruh
elemen yang ada di negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan
hanya hak lembaga – lembaga negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang
bercirikan prinsip checks and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya,
tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam
usaha terciptanya supremasi hukum dinegara kita. Bahwasanya pentingnya budaya
hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan,
bahwa substansi dan aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum.
Dimana Lawrence M. Friedman menekankan kepada pentingnya budaya hukum (legal
culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum yang mendukungnya serupa
dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa berenang. Dimana kalau sistem
hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut Friedman lagi, jika
substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur adalah mesin yang
menghasilkan produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia yang tahu kapan
mematikan dan menghidupkan mesin dan yang tahu memproduksi barang apa yang
dikehendakinya. Ambil contoh mengapa aparatur hukum ada yang tidak taat hukum?.
Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal
culture), begitu juga ruang lingkup budaya hukum, bila kita ingin mengetahui
tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan – bulanan aparat hukum.[4]
Demikian juga hal nya,
sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan diIndonesia terdapat
lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
1.
Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun,
menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan
dilingkungannya.
2.
Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara
aktif dan kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil
ketiga.
3.
Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para
pencari keadilan.
4.
Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif
an bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
5.
Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi atau golongan.
Kode etik jaksa serupa dengan
kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur dan ideal sebagai
pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan
sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa – jaksa yang memang mempunyai
kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan
peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai komponen
kekuasaan eksekutif dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah kurun
waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya sehingga
dari perenungan ini diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru
yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan sehingga kejaksaan tetap
mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara
sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Dan bukan sebagai wakil orang
pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya. Kejaksaan adalah
merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan
masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional
dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya
kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini.
Mengevaluasi atas kinerja yang telah dilaksanakan selama ini. Serta menunjukkan
jati diri agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Dalam situasi dan
kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis kredibilitas maka sudah
sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan
berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan. Berbagai institusi bahkan
negara manapun pernah mengalami krisis kredibilitas, namun yang terpenting
adalah menyikapi dan menghadapinya. Apakah akan bersembunyi dan mengaharap
orang akan melupakannya? Ataukah akan berjalan terus dengan melakukan koreksi
mendasar terhadap faktor – faktor yang menyebabkan krisis kredibilitas itu
terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar
yang mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi mendasar diarahkan pada
perbaikan serta pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang.
Termasuk peningkatan
profesionalisme aparatur kejaksaan yang sinergis dengan peningkatan integritas,
guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan misi kejaksaan, serta selaras pula
dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan hukum yang lebih baik
kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan integritas harus dapat
diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam upaya penegakan
hukum dengan memberikan hasil yang nyata. Tidak bersifat retrorika, tetapi
secara sungguh – sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat
asas, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan tidak diskriminatif. Dengan
pelaksanaan tugas secara profesional dan berintegritas, diharapkan dapat
memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan dimata masyarakat tahap demi tahap.
Berbagai program kegiatan telah ditetapkan dalam pembauran kejaksaan yang
memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan tujuan untuk melakukan pembenahan.
Baik institusional maupun sumber daya manusia. Salah satu yang diprioritaskan
adalah pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia agar dapat mewujudkan
aparatur kejaksaan yang profesional dan berintegritas.[5]
Pengembangan dan pembinaan sumber
daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal yang terkait dengan pola jenjang
karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula peningkatan kemampuan dan
keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Baik yang bersifat
manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara. Monitoring dan evaluasi
terhadap kinerja para pejabat struktural maupun fungsional akan dilakukan
secara berkelanjutan dan dengan komitmen yang tinggi sehingga reward dan
punishment dapat diterapkan secara tegas dan tuntas. Kepada jajaran bidang
intelejen sebagai bagian dari organisasi diharapkan mampu menghasilkan produk –
produk inteljen yang bermanfaat bagi semua bidang. Kepada jajaran bidang pidana
umum agar penanganan perkara dan administrasi perkara tindak pidana umum, mulai
dari tahap penuntutan, upaya hukum, sampai dengan eksekusi harus benar – benar
diperhatikan. Pimpinan unit bersangkutan juga harus selalu melakukan pengawasan
melekat secara ketat pada tiap – tiap tahapan dalam penaganan perkara. Begitu
juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi perkara secara rutin dan
berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara – perkara yang penting dan
menarik perhatian masyarakat . Terutama penanganan perkara tindak tindak pidana
narkotika dan psikotropika, ilegal logging, terorisme, perbankan, ilegal
mining,money loundrying, human trafficking dan kejahatan trans – nasional
lainnya. Kepada jajaran bidang tindak pidana khusus, keberhasilan dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi harus diikuti pula dengan penyelamatan dan
pengembalian keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut
belum dapat dilakukan, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana
korupsi hanyalah sebatas keberhasilan yang terfokus terhadap aspek pemidanaan
saja.
Penulis sebagai bagian anggota
dari masyarakat sadar hukum berharap secara positif, didalam mengemban profesi,
usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur –
unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya
benar – benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan
diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang tidak mudah
bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota
masyarakat secara mayoritas. Disamping masyarakat Indonesia yang heterogen,
kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya
normal. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau
keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangkat hukum yang
ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu
sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah maka penegakan hukum
itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak
hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis
yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum.
Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan
memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya. Sebagai warga negara yang mengemban
kewajiban dan hak dinegara ini, saya berharap mengenai profesionalisme seorang
jaksa seungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan
diatas, bahwa antara lain ditangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena
kekuatan atau otoritas yang dimilikinya .[6]
DAFTAR
PUSTAKA
Anna
Ogiana, Sistem Hukum di Indonesia, http://annaogiana.blogspot.com
Isom
Webs, Faktor Penegakkan Hukum Indonesia, http:/www.isomwebs.net
Rizroi, Kode Etik Profesi, http://rizroi.blogspot.com
Sudikno
Artikel, Faktor Penegakkan Hukum Indonesia,
http://sudiknoartikel.blog
spot.com
Zoel, Kode Etik Profesi, http://vjkeybot.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar