Sabtu, 12 April 2014

SISTEM HUKUM INDONESIA



Nama   : Neni Ajeng Arnita
Nim     : 201310110311081
Kelas   : B
Tugas   : 1

SISTEM HUKUM INDONESIA

1.        Pembahasan Sistem Hukum Indonesia
       Menurut Drs. Satjipto Rahardjo, SH, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan hukum yang demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata – mata menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH , progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi buruk seperti selama ini terjadi dinegara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berpikir jernih dan berkesinambungan tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu – satunya terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai yang terjabarkan didalam kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
       Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut.[1]

2.        Faktor Pokok Penegakkan Hukum adalah sebagai berikut:
a.     Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang – undang saja.
b.    Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c.     Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e.     Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
       Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

1.    Undang – undang
     Undang – undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang – undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang – undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
     Asas – asas tersebut antara lain:
a)    Undang – undang tidak berlaku surut.
b)   Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.
c)    Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d)   Undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan undang – undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e)    Undang – undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu.
f)    Undang – undang tidak dapat diganggu gugat.
g)   Undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).[2]


2.    Penegak Hukum
     Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum. Halangan – halangan tersebut, adalah:
a)    Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
b)   Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c)    Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
d)   Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
e)    Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan – halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut:
a.    Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
b.    Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
c.    Peka terhadap masalah – masalah yang terjadi disekitarnya.
d.   Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
e.    Orientasi kemasa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
f.     Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
g.    Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
h.    Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi didalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
i.      Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan pihak lain.
j.      Berpegang teguh pada keputusan – keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.

3.    Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hokum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:
a)    Yang tidak ada, diadakan yang baru.
b)   Yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan.
c)    Yang kurang, ditambah.
d)   Yang macet, dilancarkan.
e)    Yang mundur atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan.

4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan  engidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hokum yang berlaku, nilai – nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
a)    Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b)   Nilai jasmani atau kebendaan dan nilai rohani atau keakhlakan.
c)    Nilai kelanggengan atau konservatisme dan nilai kebaharuan atau inovatisme.[3]

     Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa undang – undang, peraturan pemerintah, perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan justru secara substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada umumnya. Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat. Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture) hukumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
       Salah satu hal yang perlu mendapat sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah sistem peradilan yang merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia. Hal lain yang tak kalah penting adalah segala permasalahan yang ada dan terjadi didalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan dan kebusukan berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau bahkan hilangnya supremasi hukum di negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum.
       Oleh karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari seluruh elemen yang ada di negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan hanya hak lembaga – lembaga negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip checks and balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi hukum dinegara kita. Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa substansi dan aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M. Friedman menekankan kepada pentingnya budaya hukum (legal culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum yang mendukungnya serupa dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa berenang. Dimana kalau sistem hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut Friedman lagi, jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Ambil contoh mengapa aparatur hukum ada yang tidak taat hukum?. Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah budaya hukum (legal culture), begitu juga ruang lingkup budaya hukum, bila kita ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan – bulanan aparat hukum.[4]
       Demikian juga hal nya, sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan diIndonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
1.    Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan dilingkungannya.
2.    Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil ketiga.
3.    Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan.
4.    Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif an bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
5.    Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.

     Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa – jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai komponen kekuasaan eksekutif dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya sehingga dari perenungan ini diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
     Dan bukan sebagai wakil orang pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya. Kejaksaan adalah merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini. Mengevaluasi atas kinerja yang telah dilaksanakan selama ini. Serta menunjukkan jati diri agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Dalam situasi dan kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis kredibilitas maka sudah sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan. Berbagai institusi bahkan negara manapun pernah mengalami krisis kredibilitas, namun yang terpenting adalah menyikapi dan menghadapinya. Apakah akan bersembunyi dan mengaharap orang akan melupakannya? Ataukah akan berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar terhadap faktor – faktor yang menyebabkan krisis kredibilitas itu terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar yang mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi mendasar diarahkan pada perbaikan serta pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang.

     Termasuk peningkatan profesionalisme aparatur kejaksaan yang sinergis dengan peningkatan integritas, guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan misi kejaksaan, serta selaras pula dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan hukum yang lebih baik kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan integritas harus dapat diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam upaya penegakan hukum dengan memberikan hasil yang nyata. Tidak bersifat retrorika, tetapi secara sungguh – sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat asas, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan tidak diskriminatif. Dengan pelaksanaan tugas secara profesional dan berintegritas, diharapkan dapat memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan dimata masyarakat tahap demi tahap. Berbagai program kegiatan telah ditetapkan dalam pembauran kejaksaan yang memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan tujuan untuk melakukan pembenahan. Baik institusional maupun sumber daya manusia. Salah satu yang diprioritaskan adalah pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia agar dapat mewujudkan aparatur kejaksaan yang profesional dan berintegritas.[5]
     Pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal yang terkait dengan pola jenjang karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula peningkatan kemampuan dan keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Baik yang bersifat manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara. Monitoring dan evaluasi terhadap kinerja para pejabat struktural maupun fungsional akan dilakukan secara berkelanjutan dan dengan komitmen yang tinggi sehingga reward dan punishment dapat diterapkan secara tegas dan tuntas. Kepada jajaran bidang intelejen sebagai bagian dari organisasi diharapkan mampu menghasilkan produk – produk inteljen yang bermanfaat bagi semua bidang. Kepada jajaran bidang pidana umum agar penanganan perkara dan administrasi perkara tindak pidana umum, mulai dari tahap penuntutan, upaya hukum, sampai dengan eksekusi harus benar – benar diperhatikan. Pimpinan unit bersangkutan juga harus selalu melakukan pengawasan melekat secara ketat pada tiap – tiap tahapan dalam penaganan perkara. Begitu juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi perkara secara rutin dan berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara – perkara yang penting dan menarik perhatian masyarakat . Terutama penanganan perkara tindak tindak pidana narkotika dan psikotropika, ilegal logging, terorisme, perbankan, ilegal mining,money loundrying, human trafficking dan kejahatan trans – nasional lainnya. Kepada jajaran bidang tindak pidana khusus, keberhasilan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus diikuti pula dengan penyelamatan dan pengembalian keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut
belum dapat dilakukan, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah sebatas keberhasilan yang terfokus terhadap aspek pemidanaan saja.
     Penulis sebagai bagian anggota dari masyarakat sadar hukum berharap secara positif, didalam mengemban profesi, usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur – unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar – benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Disamping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangkat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah maka penegakan hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya. Sebagai warga negara yang mengemban kewajiban dan hak dinegara ini, saya berharap mengenai profesionalisme seorang jaksa seungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan diatas, bahwa antara lain ditangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas yang dimilikinya .[6]






















DAFTAR PUSTAKA


Anna Ogiana, Sistem Hukum di Indonesia, http://annaogiana.blogspot.com

Isom Webs, Faktor Penegakkan  Hukum Indonesia, http:/www.isomwebs.net

Rizroi, Kode Etik Profesi, http://rizroi.blogspot.com

Sudikno Artikel, Faktor Penegakkan Hukum Indonesia, http://sudiknoartikel.blog spot.com

Zoel, Kode Etik Profesi, http://vjkeybot.wordpress.com


[1]Anna Ogiana, Sistem Hukum di Indonesia, http://annaogiana.blogspot.com, access 30 September 2013
[2]Isom Webs, Faktor Penegakkan Hukum Indonesia, http:/www.isomwebs.net, access 30 September 2013
[3]Sudikno Artikel, Faktor PenegakkanHukum Indonesia, http://sudiknoartikel.blog spot.com, access 30 September 2013
[4]Zoel, Kode Etik Profesi, http://vjkeybot.wordpress.com, access 30 September 2013
[5]Rizroi, Kode Etik Profesi, http://rizroi.blogspot.com, access 30 September 2013
      [6]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar