Nama : Neni Ajeng
Arnita
Nim : 201310110311081
Kelas : B
Tugas : 17
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum
Acara PTUN adalah: seperangkat peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, serta cara pengadilan
bertindak satu sama lain untuk menegakkan peraturan HAN (materiil). Hukum Acara
PTUN dapat pula disebut dengan Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara.
Secara
sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan
Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas,
merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu
mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.Penggabungan antara Hukum Materil
dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan
Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan
tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang
merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan
Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata)Sengketa Tata Usaha Negara
dikenal dengan dua macam cara antara lain:
Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.Bentuk upaya administrasi:
Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.Bentuk upaya administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan
yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.[1]
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.[1]
Sengketa
TUN : Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum
perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Badan atau pejabat TUN : Badan atau pejabat
yang melaksanakan urusan pemerintahan (bersifat eksekutif) berdasarkan
peraturan yang berlaku.
Tujuan
pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah padasaat pembahasan
RUU PTUN adalah:
a. Memberikan perlindungan
terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
b. Memberikan perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari
individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan pemerintah pada
Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).[2]
Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan Hukum Acara
Perdata, dengan beberapa perbedaan. Perbedaan – perbedaan itu antara lain :
1.
Peranan hakim yang aktif karena ia
dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
2.
Adanya ketidak seimbangan antara
kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat
hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan
Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih
lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
3.
Sistem pembuktian yang mengarah
kepada pembuktian bebas.
4.
Gugatan di Pengadilan tidak mutlak
bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
5.
Putusan hakim tidak boleh melebihi
tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang
lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
6.
Putusan hakim tidak hanya berlaku
bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang
terkait.
7.
Para pihak yang terlibat dalam
sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.
8.
Dalam mengajukan gugatan harus ada
kepentingan dari sang Penggugat.
9.
Kebenaran yang dicapai adalah
kebenaran materiil denggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa hukum acara
yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan
dengan hukum acara yang digunakan di peradilan umum untuk perkara perdata,
namum tidak begitu saja peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata
diterapkan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, karena hal ini
dibatasi dengan prinsip dasar yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara,
terutama yang menyangkut masalah kompetensi (kewenangan mengadili). Peradilan
Tata Usaha Negara hanya berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yaitu
sengketa antara orang atau badan hukum dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya
suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
Gugat balik (gugat reconvensi) dan gugat mengenai ganti ru gi yang
dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, karena dalam gugat balik bukan lagi Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi adalah warga msasyarakat
atau Badan Hukum Perdata. Sedang gugat ganti rugi sengketa tentang kepentingan
hak, yang merupakan wewenang Peradilan Umum untuk mengadilinya. Sebaliknya
berdasar ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
bertibdak sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara hanyalah orang atau
Badan Hukum Perdata, sehingga tidak mungkin terjadi saling menggugat antara
sesama Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Di
Peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas peradilan cepat, murah, dan
sederhana semacam asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) seperti yang dikenal dalam Hukum
Acara Pidana. Seorang Pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah
di dalam membuat suatu keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah membuat
putusan Tata Usaha Negara.
Peradilan
Tata Usaha Negara juga mengenal peradilan in absentia se bagaimana berlaku dalam peradilan
Tindak Pidana Khusus, dimana siding berlangsung tanpa hadirnya terugat.
Menurut
Pasal 72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bila tergugat atau kuasanya tidak
hadir di persidangan 2 kali berturt-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun setiap kali telah
dipangil secara patut, maka hakim ketua siding dengan surat penetapan meminta
atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.
Setelah lewat 2 bulan sesudah dikirimakn dengan surat tercatat penetapan
dimaksud, tidak dieterima berita, baik dari atasan terugat maupun dari tergugat
sendiri, maka hakim ketua siding menetapkan hari siding berikutnya dan
pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadir tergugat.Putusan
terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi
pembuktiannya tetap dilakukan secara tuntas.
SUMBER HUKUM TATA USAHA NEGARA ( HUKUM
ADMINSTRASI NEGARA )
Sumber-sumber
formal Hukum Adminstarsi Negara adalah :
1.
Undang – Undang (Hukum Adminstrasi
Negara tertulis)
2.
Praktik Adminsitrasi Negara (Hukum
Administarsi Negara yeng merupakan kebiasaan)
3.
Yurisprudensi
4.
Anggapan para ahli Hukum
Adminstrasi Negara (E. Utrect, 1964-74)
Mengenai
undang-undang sebagai sumber hukum tertulis, berbeda dengan Hukum Perdata atau
Hukum Pidana karena sampai sekarang Hukum Tata Usaha Negara belum terkodifikasi
sehingga Hukum Tata Usaha Negara masih tersebar dalam berbagai ragam
peraturan perundang-undangan.
Dengan
tidak adanya kodifikasi Hukum Tata Usaha Negara ini dapat menyulitkan para
hakim Peradilan Tata Usaha Negara untuk menemukan hukum di dalam memutus suatu
sengketa. Hal ini disebabkan karena Hukum Tata Usaha Negara tersebar
dalam berbagai ragam peraturan perundang-undang yang jumlahnya cukup banyak.
Beberapa bidang Hukum Tata Usaha Negara yang banyak menimbulkan sengketa,
misalnya bidang kepegawaian, agrarian, perizinan dan bidang perpajakan, yang
semuanya tersebar dalam berbagai ragam peraturan perundang-undangan, baik dalam
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan
menteri, samapai pada keputusan dan peraturan kepala daerah.
Persamaan
dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata.[4]
A. Persamaan
Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum acara Perdata
1. Pengajuan
gugatan.
Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN di atur
dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara perdata di atur dalam pasal 118 HIR.
Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama diajukan ke pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.
2. Isi
Gugatan
Isi gugatan hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU
PTUN, dan Hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv.
Isi gugatan
terdiri dari yaitu:
a. Identitas
para pihak
b. Posita
c. Petitum
3.
Pendaftaran Perkara
Pendaftaran perkara Hukum acara PTUN diatur dalam
Pasal 59 UU PTUN, dan Hukum acara Perdata pada pasal 121 HIR. Persamaannya
adalah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan kemudian kemudian di
daftarkan panitera dalam buku daftar perkara. Bagi penggugat yang tidak mampu
boleh tidak untuk membayar uang muka biaya perkara, dengan syarat membawa surat
keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat (pasal 60 UU PTUN
dan Pasal 237 HIR).
4. Penetapan
Sidang
Penetapan hari siding di atur dalam pasal 59 ayat 3
dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata pada pasal 122 HIR. Setelah di
daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim menentukan hari, jam, tempat
persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk hadir. Dan hakim harus sudah
menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah gugatan terdaftar.
5.
Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur
dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal
121 ayat 1 HIR dan pasal 390 ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN
jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari,
kecuali sengketanya tersebut diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim
dengan surat tercatat.
6. Pemberian
Kekuasaan
Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut
hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur
dalam pasal 123 ayat 1 HIR. Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa
harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima
kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya
pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa.
7. Hakim
Majelis
Pemerisaan perkara dalam hukum acara PTUN dan acara
perdata dilakukan dengan hakim majelis (3 orang hakim), yang terdiri atas satu
orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim
anggota (pasal 68 UU PTUN).
8.
Persidangan Terbuka untuk Umum
Ketentuan ini diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN,
sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang
dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut.
Apabila hakim menyatakan sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum
berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta
mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali hakim memandang bahwa
perkara tersebut manyangkut ketertiban umum, keselamatan Negara, atau
alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita acara.[5]
9. Mendengar
Kedua Belah Pihak
Dalam pasal 5 ayat 1 UU 14/1970 disebutkan bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Hakim boleh
mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan juru alih bahasa
demi kelancaran jalannya persidangan.
10.
Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya,
sebelum tergugat memberikan jawaban. apabila sudah memberikan jawabannya yang
di ajukan penggugat maka akan dikabulkan oleh hakim (pasal 76 UU PTUN dan pasal
271 Rv). Dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat
dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambahkan petitum.
11. Hak
Ingkar
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau
panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah
bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim
dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana
yang di sebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai
kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya (pasal 78 dan pasal
79 UU PTUN).
12.
Pengikutsertaan Pihak Ketiga
Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak
hadir selama pemeriksaan perkara berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan
permohonan maupunatas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak
ketiga(intervenient) yang membela kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek
sengketa TUN adalah KTUN, maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut
tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak.
13.
Pembuktian
Penggugat terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu
kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang
di ajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat(pasal 100
sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan
peristiwanya bukan hukumnya karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya(
ius curia novit).
14.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Ketentuan ini diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal
116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila yang dikalahkan tidak mau secara suka
rela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat
mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan
putusan itu dalam tingkat pertama ( pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal
197 HIR.
15. Juru
Sita
Ketentuan
ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman (UUKPKK-70), makahanya mengatur tugas jurusita perkara perdata, yang
menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam perkara perdata
dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.[6]
B. Perbedaan
Antara Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata
1. Obyek
Gugatan
Objek gugatan TUN adalah KTUN yang mengandung
perbuatan onrechtsmatingoverheid daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh penguasa. Hukum acara perdata adalah onrechtmating daad (perbuatan melawan
hukum)
2. Kedudukan
Para Pihak
Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN, selalu
menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihk tergugat dan badan
atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada hukum acara perdata para pihak
tidakn terikat pada kedudukan.
3. Gugat
Rekonvensi
Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugat
rekonvensi (gugat balik), yang artinya gugatan yang diajukan oleh tergugat
terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka.
4. Tenggang
Waktu Pengajuan Gugatan
Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat
dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari.
5. Tuntutan
Gugatan
Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu
tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau
petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan
poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau
tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan
oleh tergugat.
6. Rapat
Permusyawaratan
Dalam hukum
acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN,
ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN.
7.
Pemeriksaan Persiapan
Dalam hukum
acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak dikenal dalam
hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib member nasehat
kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim
memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan.
8. Putusan
Verstek
Kata verstek
berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari sidang pertama.
Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa kehadiran
dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek.
9.
Pemeriksaan Cepat
Dalam hukum
acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal
pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan
penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang
berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati
penggugat. [7]
10. Sistem
Hukum Pembuktian
Sistem
pembuktian vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka
memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam
rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 UU PTUN).
11. Sifat
Ega Omnesnya Putusan Pengadilan
Artinya
berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak
yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata.
12.
Pelaksanaan serta Merta (executie bij voorraad)
Dalam hukum
acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam
hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN.
13. Upaya
pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan
Dalam hukum
acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan
secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar putusan tersebut
dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan menghukum
sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum acara PTUN
adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan.
14.
Kedudukan Pengadilan Tinggi
Alam hukum
acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat
banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan
tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama
(pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat
sebagai pengadilan tingkat pertama.
15. Hakim Ad
Hoc
Hakim Ad Hoc
tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli
dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli.
Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian
khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota
majelis.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Biyot, Hukum acara PTUN, http://biyot.wordpress.com
Jhohan Dewangga, Hukum Acara PTUN, http://jhohandewangga.wordpress.com
Sugiharto, Hukum Acara PTUN, http://usaidsugiharto.blogspot.com/
[1]
Jhohan Dewangga, Hukum Acara PTUN, http://jhohandewangga.wordpress.com
diakses pada 14 Desember 2013
[2]Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
"Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
BalasHapusTIPS DAN TRICK UNTUK PENGGUNA SMARTPHONE”