Nama : Neni Ajeng
Arnita
Nim : 201310110311081
Kelas : B
Tugas : 18
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Pengertian
Peradilan Agama
adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia
boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan
(dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3
Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata “Peradilan
Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan
adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala
jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu,
dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum
Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan
hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk
menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah “Peradilan
Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sebagaimana
diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di
Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan
syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama
adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan negara maupun dari yariat Islam yang mengatur
tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut
menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi
kekuasaan Peradilan Agama”.
Pengadilan Agama
merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama
Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA
“Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama
dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.[1]
Setelah UU No. 7
tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga
ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan
wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka
rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini ”.
Dalam definisi
PENGADILAN AGAMA tersebut kata “Perdata” dihapus. Adapun maksud dari dihapusnya
kata “perdata” adalah:[2]
1.
Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran
atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Untuk memperkuat
landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang
jinayah berdasarkan Qonun.Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam
bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan,
wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan
shadaqoh
BAB III
Kekuasaan Peradilan Agama[3]
Kekuasaan
Peradilan menyangkut dua hal, yaitu ”kekuasaan relatif” dan ”kekuasaan absolut.
1. Kekuasaan Relatif
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan
yang satu jenis dan satu tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama
Purworejo dengan Pengadilan Agama Kebumen. Sebagaimana pasal 4 ayat (1) UU No.
7 Th. 1989 berbunyi : Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau ibukota
kabupaten , dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) menyatakan pada dasarnya tempat
kedudukan Pengadilan Agama ada di Kotamadya atau ibu kota kabupaten, yang
daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tapi tidak tertutup
kemungkinan adanya pengecualian
2. Kekuasaan Absolut.
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan
Pengadilan.Kekuasaan Absolut Peradilan Agama UU No. 3 Th. 2006 adalah sebagai
berikut,
1. Perkawinan, jenis perkara di bidang ini meliputi
1. Perkawinan, jenis perkara di bidang ini meliputi
Izin beristri lebih dari satu orang, Izin
perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali
atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaanpendapat , Dispensasi kawin,
Pencegahan perkawinan, dan lain-lain.
2.
Waris
Yang dimaksud dengan”waris”adalah penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuian siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian
masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan ”wasiat” adalah perbuatan
seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada oranglainatau lembaga/
badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggl dunia.
4.
Hibah
Yang dimaksud dengan ”hibah ” adalah pemberian
suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum
kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5.
Wakaf
Yang dimaksud dengan ”wakaf” adalah perbuatan
seseorang atau kelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan
sebagian harta tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/
atau kesejahteraan umum menurut syari’ah
6. Zakat
Yang dimaksud dengan ”zakat” adalah harta yang
wajib disisihkan oleh seseorang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq
Yang dimaksud dengan ”infaq” adalah perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.
8.
Shadaqah
Yang dimaksud dengan ”shadaqah” adalah perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridhoAllah SWT. dan pahala semata.
9.
Ekonomi Syari’ah[4]
Yang dimaksud dengan ”ekonomi syari’ah” adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara
lain meliputi :
a. Bank syari’ah ;
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah ;
c. Asuransi syari’ah ;
d. Reansyuransi syari’ah ;
e. Reksa dana syari’ah ;
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah ;
g. Sekuritas syari’ah.
h. Pembiayaan syari’ah ;
i. Penggadaian syari’ah ;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah ;
k. Bisnis syari’ah.
3. Tugas-tugas lain Peradilan Agama.
1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang
hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta , ”
Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun
hijriah ” atas permintaan Dep. Agama
2. Memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan
penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
3. Kewenangan lain oleh atau berdasarkan
undang-undang.
4. Asas dan sifat Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum
Acara Peradilan Agama pada azasnya dilakukan dengan :
1. Asas Personalitas Keislaman ;
2 Asas kebebasan
3. Beracara dengan hadir sendiri ;
4. Beracara dengan memajukan permohonan ;
5. Pemeriksaan dalam sidang terbuka
6. Beracara tidak dengan cuma-cuma ;
7. Hakim mendengar kedua belah pihak ;
8. Pemeriksaan perkara secara lisan ;
9. Terikatnya Hakim kepada alat pembuktian ;
10. Keputusan Hakim memuat alasan-alasan.
Sifat Hukum Acara : sederhana, murah dan cepat. atau ” Sederhana, cepat dan biaya ringan”
Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah Peradilan
Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di
Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan Negara, untuk
mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaannya.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya
(menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya
(menegakkan hukum dan keadilan) maka peradilan agama dahulunya mempergunakan
Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga
Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal Islam yang belum
diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun
kini, setelah terbitnya UU No. 7 tahun 1989, yang berlaku sejak tanggal
diundangkan (29 Desember 1989), maka hukum Acara Peradilan Agama menjadi
konkret. Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ini berbunyi sebagai berikut :
“Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum acara Perdata yang
berlaku dalam lingkunganPeradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang ini”.
Menurut pasal di
atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada
dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Uu No. 7 tahun 1989, dan (2) yang
berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
Peraturan
perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara
lain :
a. HIR (Het Herziene Inlandsche
Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui).
b. RBg (Rechts Reglemen
Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang, maksudnya
untuk Luar Jawa-Madura.
c. Rsv (Reglement op de Burgelijke
Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van
Justitie.
d. UU No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum (sekarang UUNo. 2 Tahun 1998 tentang Peradilan Umum).
Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku
bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan agama adalah :
a) UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiaman. (sekarang UU initelah direvisi
menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan direvisi kembali
menjadi UU No. 48 Tahun 2009)
b) UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
c) UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9
Tahun 1975 tentang perkawinan dan Pelaksanaannya.
ASAS-ASAS HK ACARA P. AGAMA[5]
1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
a) Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.
b) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah
peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara
menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c) Asas Ketuhanan
Peradilan
agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama
Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan
kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d) Asas Fleksibelitas
e) Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam
UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud akan dipidana.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus
sebagai hak persamaan hokum.
2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan
Agama
1) Asas Personalitas Ke-islaman
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman
adalah :
a. Para pihak yang bersengketa harus
sama-sama beragama Islam.
b. Perkara perdata yang
disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c. Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan
hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara
perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya
Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan.
2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui
pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk
menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan,
pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3) Asas Terbuka Untuk Umum
4) Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan
kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik
dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang
fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian
perkara dipersidangan adalah :
a. Persamaan hak dan derajat dalam
proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
b. Hak perlindungan yang sama oleh
hukum atau “equal protection on the law”
c. Mendapat hak perlakuan yang sama
di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
5) Asas “Aktif” memberi bantuan
6) Asas Upaya Hukum Banding
7) Asas Upaya Hukum Kasasi
8) Asas Upaya Hukum Peninjauan
Kembali
9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio
Decidendi)
HubunganPeradilan
Agama Dengan Hukum Perdata
Seperti
telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga
dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama
dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku sebagian besar adalah sama.[7]
DAFTAR PUSTAKA
[1]Sanfurista,
Asas dan Sumber Hukum Acara Peradilan
Agama, http://sanfuristas.blogspot. com diakses pada 15 Desember 2013
[2]
Ibid.
[3]Ihsan
Badroni, Hukum Acara Peradilan Agama,
http://ihsan26theblues.wordpress.com
diakses pada 15 Desember 2013
[4]
Ibid.
[5]Opcit.
Hal 1
[6]
Ibid.
[7]Ilham Irwansyah, Sumber Hukum Acara Peradilan Agama, http://ilham-irwansyah.blogspot.com diakses pada 15 Desember 2013
"Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
BalasHapusTIPS DAN TRICK UNTUK PENGGUNA SMARTPHONE”