Sabtu, 12 April 2014

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA



Nama     : Neni Ajeng Arnita
Nim       : 201310110311081
Kelas      : B
Tugas     : 18

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Pengertian
          Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
          Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
          Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari yariat Islam yang mengatur tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”.
          Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.[1]
          Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.
          Dalam definisi PENGADILAN AGAMA tersebut kata “Perdata” dihapus. Adapun maksud dari dihapusnya kata “perdata” adalah:[2]
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2.  Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun.Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a.  Perkawinan
b.  Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c.  Wakaf dan shadaqoh

BAB III
Kekuasaan Peradilan Agama[3]
Kekuasaan Peradilan menyangkut dua hal, yaitu ”kekuasaan relatif” dan ”kekuasaan absolut.
1.  Kekuasaan Relatif
          Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Purworejo dengan Pengadilan Agama Kebumen. Sebagaimana pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 berbunyi : Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau ibukota kabupaten , dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) menyatakan pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di Kotamadya atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian
2.  Kekuasaan Absolut.
          Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan.Kekuasaan Absolut Peradilan Agama UU No. 3 Th. 2006 adalah sebagai berikut,
1.
  Perkawinan, jenis perkara di bidang ini meliputi
     Izin beristri lebih dari satu orang, Izin perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaanpendapat , Dispensasi kawin, Pencegahan perkawinan, dan lain-lain.
2. Waris
     Yang dimaksud dengan”waris”adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuian siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
     Yang dimaksud dengan ”wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada oranglainatau lembaga/ badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggl dunia.
4. Hibah
     Yang dimaksud dengan ”hibah ” adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Wakaf
     Yang dimaksud dengan ”wakaf” adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari’ah
6. Zakat
     Yang dimaksud dengan ”zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq
     Yang dimaksud dengan ”infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.
8. Shadaqah
     Yang dimaksud dengan ”shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridhoAllah SWT. dan pahala semata.
9. Ekonomi Syari’ah[4]
     Yang dimaksud dengan ”ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi :
a.  Bank syari’ah ;
b.  Lembaga keuangan mikro syari’ah ;
c.  Asuransi syari’ah ;
d.  Reansyuransi syari’ah ;
e.  Reksa dana syari’ah ;
f.  Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah ;
g.  Sekuritas syari’ah.
h.  Pembiayaan syari’ah ;
i.   Penggadaian syari’ah ;
j.   Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah ;
k.  Bisnis syari’ah.

3.  Tugas-tugas lain Peradilan Agama.
1.  Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta , ” Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriah ” atas permintaan Dep. Agama
2.  Memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
3.  Kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
4.  Asas dan sifat Hukum Acara Peradilan Agama

Hukum Acara Peradilan Agama pada azasnya dilakukan dengan :
1.  Asas Personalitas Keislaman ;
2   Asas kebebasan
3.  Beracara dengan hadir sendiri ;
4.  Beracara dengan memajukan permohonan ;
5.  Pemeriksaan dalam sidang terbuka
6.  Beracara tidak dengan cuma-cuma ;
7.  Hakim mendengar kedua belah pihak ;
8.  Pemeriksaan perkara secara lisan ;
9.  Terikatnya Hakim kepada alat pembuktian ;
10.     Keputusan Hakim memuat alasan-alasan.

Sifat Hukum Acara : sederhana, murah dan cepat. atau ” Sederhana, cepat dan biaya ringan”


LikeLoading...Related
Cancel reply          Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan Negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaannya.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka peradilan agama dahulunya mempergunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun kini, setelah terbitnya UU No. 7 tahun 1989, yang berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember 1989), maka hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ini berbunyi sebagai berikut :

“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum acara Perdata yang berlaku dalam lingkunganPeradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
         Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Uu No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
         Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara lain :
a.    HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui).
b.    RBg (Rechts Reglemen Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk Luar Jawa-Madura.
c.    Rsv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.
d.   UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (sekarang UUNo. 2 Tahun 1998 tentang Peradilan Umum).

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan agama adalah :
a)    UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiaman. (sekarang UU initelah direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan direvisi kembali menjadi UU No. 48 Tahun 2009)
b)   UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
c)    UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan Pelaksanaannya.
1.    Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
a)    Asas Bebas Merdeka
     Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.
b)   Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
     Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
     Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
c)    Asas Ketuhanan
    Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
d)   Asas Fleksibelitas
e)    Asas Non Ekstra Yudisial
     Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
f)    Asas Legalitas[6]
     Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum.
2.    Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1)   Asas Personalitas Ke-islaman
     Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a.    Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b.    Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c.    Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
          Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan.

2)   Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
     Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3)   Asas Terbuka Untuk Umum
4)   Asas Equality
     Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a.    Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
b.    Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c.    Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
5)   Asas “Aktif” memberi bantuan
6)   Asas Upaya Hukum Banding
7)   Asas Upaya Hukum Kasasi
8)   Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
9)   Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)

HubunganPeradilan Agama Dengan Hukum Perdata
Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.[7]





























DAFTAR PUSTAKA

IhsanBadroni, Hukum Acara Peradilan Agama, http://ihsan26theblues.wordpress.com

ilhamIrwansyah, Sumber Hukum Acara Peradilan Agama,http://ilhamirwansyah. blogspot.com

Sanfurista, Asas dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama, http://sanfurista.blog spot.com


[1]Sanfurista, Asas dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama, http://sanfuristas.blogspot. com diakses pada 15 Desember 2013
[2] Ibid.
[3]Ihsan Badroni, Hukum Acara Peradilan Agama, http://ihsan26theblues.wordpress.com diakses pada 15 Desember 2013
[4] Ibid.
[5]Opcit. Hal 1
[6] Ibid.
[7]Ilham Irwansyah, Sumber Hukum Acara Peradilan Agama, http://ilham-irwansyah.blogspot.com diakses pada 15 Desember 2013

1 komentar:

  1. "Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
    TIPS DAN TRICK UNTUK PENGGUNA SMARTPHONE

    BalasHapus